Jumat, 29 Oktober 2010

Selamat Jalan, mBah Maridjan

Secara pribadi, gw nggak kenal beliau. Hanya satu yang gw (dan juga mungkin khalayak lain) ingat adalah satu kata dari mulutnya : "ROSA" untuk iklan sebuah minuman energi. Bahkan, mengingat posisinya sebagai penjaga gunung Merapi yang notabene penugasan dari Ngarso Dalem Ngayogyokarto Hadiningrat, gw sempet suudzon dengan perilaku tirakatan yang menurut gw berbau musyrik dan mistik.

Tapi bukan itu yang menusuk perhatian gw setelah media ramai dengan liputan kematiannya. Apalagi dengan posisi beliau yang konon sedang sujud.

Yang terkenang dalam pikiran gw adalah LOYALITAS tanpa batas yang disampaikan secara tersirat. Berapa kali relawan kemanusiaan datang membujuk beliau untuk turun gunung karena Merapi sudah Siaga? Apa jawabannya? "Saya ditugaskan untuk menjaga Merapi, kalo saya turun, lha apa saya ndak dikeploki bocah-bocah?" jawabnya polos.

Beliau adalah orang yang paling mengerti tentang perilaku Merapi, jadi paling tahu tentang resiko pekerjaannya. Sesuatu yang dalam manajemen modern menjadi titik tolak berapa besar seseorang digaji. Tapi coba tengok slip gaji yang ditemukan dari sisa reruntuhan rumahnya. Sebulan beliau digaji sekitar 54 ribu rupiah saja. Artinya, tidak sampai Rp 20.000,- sehari untuk sebuah pekerjaan beresiko tinggi.
"Saya itu disini bukan hanya sekedar njagani Merapi untuk kepentingan sekitar sini, tapi juga biar tempat lain aman," ujarnya penuh kerendahan. Merapi sendiri dikelilingi 4 kabupaten; Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali. Bayangkan berapa ratus ribu jiwa yang terancam oleh letusan Merapi. Itu baru kawasan lokal, bagaimana dengan regional? Itu lah kenapa dalam perspektif bencana, sosok seperti mBah Maridjan disebut sebagai local wisdom.

Jujur, gw terkesan dengan pengabdian hingga akhir, mBah Maridjan. Dalam benak dia, tak terbersit berapa beliau dibayar, atau resiko yang jauh melebihi kapasitasnya. Penanganan bencana Indonesia memerlukan Maridjan-Maridjan lain, agar penanganan bencana jauh lebih konkrit, tidak sekedar lip service dan berita basa-basi mencari sensasi.

Minggu, 17 Oktober 2010

Pengalaman dan perjuangan untuk sekolah lagi ...

Setelah hampir 5 tahun lulus dan tidak sekolah, akhirnya saya diberi kesempatan lagi oleh Allah SWT untuk menuntut ilmu lagi. Dan sungguh tidak disangka, kesempatan itu sangat luar biasa yaitu belajar di negeri orang, di University of Leeds, United Kingdom.


Untuk bisa mendapatkan kesempatan belajar (kalau di PNS biasanya tugas belajar atau ijin belajar) memang perlu perjuangan dan pengorbanan yang kadang tidak kecil. Perjuangan seperti mengikuti kursus atau tes bahasa Inggris (TOEFL atau IELTS). Pengorbanan seperti harus meninggalkan keluarga untuk beberapa saat, baik saat kursus ataupun saat belajar, bagi mereka yang berusaha sendiri (menggunakan biaya sendiri) maka ada juga pengorbanan dari sisi finansial. Semua itu harus dihadapi dan dijalani, walau kadang kita merasa capek, tidak yakin dan semua perasaan yang menjauhkan kita dari keberhasilan.


Perjuangan saya untuk kembali ke sekolah telah saya mulai sejak setahun sebelumnya di awal 2009. Dimulai dengan mendaftar ke berbagai universitas di Australia dan New Zealand, akhirnya saya mengetahui bahwa universitas non-US lebih menghendaki hasil tes bahasa Inggris IELTS dibandingkan TOEFL. Sejak saat itu saya mulai kursus IELTS Preparation di CILACS UII Yogyakarta dan segera menjalani tes IELTS di Semarang pada bulan April 2009. Untuk mengikuti tes IELTS ini juga tidak mudah, selain syarat tes yang lebih ketat daripada TOEFL (isi formulir lengkap foto dan hanya boleh bawa pencil-pena-penghapus dan sebotol air minum saat tes), biayanya juga tidak sedikit, sekitar US$ 180-205 per tes.


Bagi yang belum mengetahui tes IELTS, tes ini terdiri atas 2 jenis, Academic dan General. Academic diperlukan untuk sekolah dan kursus, General diperlukan untuk keperluan kerja. Kedua jenis IELTS tersebut, terbagi dalam 4 bagian tes, yaitu Listening, Reading, Writing dan Speaking. Jadi sangat mencerminkan kemampuan berbahasa Inggris kita, hal yang menurut saya berbeda dengan TOEFL (yang biasanya hanya Listening dan Reading). Dan jangan lupa, nilai IELTS berlaku selama 2 tahun sejak tanggal tes, sama halnya dengan TOEFL.

Tidak disangka, hasil IELTS saya 6.0 dengan hasil writing hanya 5.0. Padahal untuk bisa diterima di universitas yang baik, diperlukan hasil rata-rata 6.5 dengan nilai per bagian minimum 6.0. Setelah belajar lagi selama 2,5 bulan, saya kembali mengikuti tes IELTS lagi di bulan Juli 2009. Akhirnya ada peningkatan, overall score 6.5 tapi writing score masih 5.5. Di tahap ini, kita harus tegar, di satu sisi kita merasa kecewa karena nilai ini ternyata belum cukup untuk bisa lulus tanpa syarat (istilahnya unconditional offer) ke universitas yang baik, padahal kita sudah membayar biaya tes yang sangat tinggi. Tetapi di sisi lain, kita juga harus bersyukur dan melihat ada peningkatan nilai. Artinya, kita masih bisa berkembang jika kita mau berusaha dan belajar.


Setelah itu saya tetap belajar dan rajin mencari beasiswa di internet, bahkan di trimester akhir 2009 juga mendapat tawaran untuk berbicara di suatu konferensi di Singapore (International Quality and Productivity Centre - Healthcare Management and Informatics). Walaupun nampak seperti di luar usaha untuk kembali ke sekolah, tawaran menjadi pembicara dalam konferensi juga merupakan bagian yang mendukung keberhasilan saya. Salah satunya adalah saya harus membuat presentasi dan teks dalam bahasa Inggris, melatih percaya diri untuk berbicara bahasa Inggris di depan orang banyak dan juga bisa masuk dalam CV (ini juga penting!). Konferensi tersebut berhasil saya jalani dengan baik dan mendapat respon yang cukup baik dari audience di bulan Februari 2010.


Sekembali dari Singapore, saya mendapat informasi mengenai beasiswa dari DSF (Decentralization Support Facility) melalui Kementerian Dalam Negeri RI. Dalam waktu yang singkat, saya segera mendaftar dan melengkapi persyaratannya (saya dapat informasi hanya 3 hari menjelang deadline). Kejutan! Mengapa? Karena ini adalah beasiswa ke-4 yang saya ikuti selama ini dan saya mendapat kabar yang positif. Dalam 1,5 bulan saya mendapat panggilan untuk melakukan wawancara di Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri RI di Kalibata, Jakarta. Singkatnya, saya akhirnya dikursuskan IELTS lagi selama 7 minggu dan di akhir kursus harus menjalani tes IELTS, kali ini gratis tentunya karena dibayar oleh sponsor. Agar bisa lulus, beasiswa, saya harus mendapat minimum overall score 6.5 dan tidak ada score per bagian di bawah 6.0.


Di awal bulan Agustus 2010, akhirnya saya menerima hasil IELTS saya ... overall score 6.5, listening 7.0, reading 6.5, writing, 6.0, speaking 6.5. Sepintas nampak bahwa tidak ada kenaikan, overall score masiih sama dengan tes tahun lalu, bahkan speaking malah turun 0.5. Tapi sebetulnya, hasil IELTS kali ini sangat berharga dan merupakan keberhasilan besar. Mengapa? Karena minimum overall score tercapai dan tidak satupun ada nilai di bawah 6.0, artinya nilai IELTS kali ini bisa digunakan untuk sekolah (hampir) di manapun. dan memang pada akhirnya, saya lulus beasiswa DSF dan mendapat unconditional offer dari University of Leeds.


Apa pelajaran yang bisa saya (atau kita) ambil dari pengalaman tersebut?

  • Bahwa kita harus berusaha dan pantang menyerah.
  • Setiap usaha pasti ada pengorbanan tapi di ujung usaha tersebut pasti ada sesuatu yang berharga dan bisa kita pelajari untuk ke depan.
  • Kita masih bisa berkembang (dalam hal ini saya membuktikan dari hasil usaha saya belajar bahasa Inggris).
  • Dan seperti yang selalu diingatkan istri saya kepada saya, "Kamu harus berusaha keras dan setelah itu berserah diri, karena yang menentukan pada akhirnya adalah Allah SWT. Jika kamu tidak berserah diri maka semuanya akan terasa berat"

Jumat, 15 Oktober 2010

Belajar dari Chile

Proses evakuasi 33 pekerja tambang yang terperangkap selama lebih dari dua bulan bukan saja upaya yang bikin jantungan, tapi lebih dari itu sangat memberikan inspirasi bagi siapa saja yang mengikuti prosesnya. Entah semenjak awal, atau baru pada bagian akhir dari proses ini. Sebagai sebuah usaha yang dikerjakan manusia, ada begitu banyak pelajaran yang bisa disimak dari kejadian ini.

Adalah Presiden Chile, Sebastian Pinera, tokoh dibalik keberhasilan ini. Dan, sudah bisa ditebak, uung-ujungnya dia dielu-elukan sebagai pahlawan tidak saja di negaranya namun juga di seantero jagad. Menurut Pinera, kerja ini bukanlah upaya untuk mengalahkan kematian melainkan bagaimana kita menghargai kehidupan.

Berikut catatan yang kubuat untuk dijadikan renungan belajar kita dari kasus Chile:

1. Pinera baru menjabat sebagai presiden kurang dari setahun. Dalam masa ini, pemerintahannya telah berhasil mengatasi dua bencana besar di Chile. Sebelumnya pada 27 Februari 2010, Chile juga dihajar gempa besar berkekuatan 8,6 MMI (ada yang mengatakan 8,8 MMI). Namun berbeda dengan Haiti yang langsung diserbu oleh lembaga bantuan internasional, Sebastian Pinera langsung mengatakan bahwa Chile mampu mengatasi sendiri kejadian tersebut. Dari sini aku mencoba mengerti bahwa kepemimpinan seseorang tidak berhubungan dengan masa jabatannya.

2. Latar belakang Pinera adalah bussinesman. Pun seorang bergelar PhD. Entah bagaimana ia menggabungkan keduanya. Sebelum menjadi presiden, Pinera adalah pemilik sebuah stasiun televisi berpengaruh di Chile. Namun untuk menghilangkan konflik kepentingan, ia menjual sahamnya di perusahaan terebut. Toh tanpa stasiun TV miliknya lagi, ia tetap menjadi tokoh utama liputan dari dalam dan luar negeri Chile. Hikmah kedua : kalau kita mengerjakan sesuatu dengan benar, kita tidak perlu repot dengan pencitraan.

3. Chile bukanlah negara kaya. Tahun lalu GDP mereka sebesar US$ 14,000 jauh dibawah Amerika Serikat yang mencapai US$ 35,000 per tahun. Tapi sepertinya upaya yang menelan biaya tak kurang dari US$ 10 juta ini terlihat seperti limitless budget. Hampir seluruh teknologi yang digunakan bukan berasal dari negara “maju”. Mereka mendatangkan mata bor dari Afrika Selatan, bukan AS atau Inggris yang “kaya” dengan perusahaan tambang. Mereka bekerja sama dengan ahli pertambangan dari Cina dan Mexico yang “kenyang” dengan pengalaman kecelakaan tambang. Dan yang paling menakjubkan, teknologi Phoenix1, kapsul pengangkut manusia dari perut bumi, dirancang oleh Angkatan Laut Chile. Teknologi ini kelihatan lebih menyerupai drum yang dikerek dengan katrol dan tali baja. Pelajaran ketiga : percaya akan kemampuan sendiri. Uang bukan masalah. In fact, kepedulian terhadap sesama itu menjadi magnet untuk memikul beban ini bersama-sama.

4. Yang pertama kali dikirimkan oleh tim penyelamat setelah berhasil membuat saluran penghubung adalah makanan dan alat komunikasi. Dari sini tim penyelamat intens mengabarkan setiap perkembangan di luar dan pekerja mengerti bahwa harapan hidup mereka terus tinggi, tidak lagi di ujung tanduk. Mereka tahu bahwa semua yang berada di atas masih peduli terhadap nyawa mereka.

5. Saat terjebak, adalah Luiz Ursula yang “menyatukan” hidup pekerja yang terjebak. Ia membagi jatah makan yang tersisa hingga mampu untuk bertahan hingga kiriman datang. Yang pada kenyataannya, tanpa pembagian ini, makanan yang ada hanya cukup untuk 48 jam. Ternyata saat tersulit pun bisa “diakali” jika kita merasa senasib sepenanggungan.

6. Sebagai pemimpin negara, Pinera mengontrol langsung proses evakuasi dan berada di lokasi dari detik pertama proses peluncuran Phoenix1, hingga pekerja terakhir bisa diselamatkan. Semua pekerja yang keluar dari liang dipeluk hangat oleh Pinera walau ia tahu tak satu pun dari mereka yang pernah mandi dalam 2 bulan terakhir. Tak tampak ada Paspampres atau protokoler yang mengacaukan momen ini. Pinera rela berada di lokasi selama 22 jam 37 menit menunggui proses evakuasi.

7. Setelah pekerja terakhir diselamatkan, teriakan yang keluar dari Pinera adalah: “Viva Chile!” diikuti dengan menyanyikan lagu kebangsaan Chile. Sontak seluruh orang yang ada di lokasi dan mereka yang menyaksikan melalui televisi berdiri dan bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan. Ga pake MC untuk mengomandani prosesi ini.

Well, masih banyak lah yang bisa dicatat. Tapi aku tulis yang menurutku paling menggugah.

Jangan dibandingkan sama Pak BY ya pas ke Wasior.