Kamis, 29 Juli 2010

Malam Terakhir - bagian 10

Seperti udah gw bilang di posting yang lalu, ada beberapa skenario yang mungkin diberlakukan Israel terhadap Flotilla to Gaza ini. Pertama, membiarkan lewat dengan pengawalan dan memberi batas waktu kapan kapal harus keluar dari perairan Gaza. Kedua, dengan negosiasi, Israel hanya membolehkan sebagian kapal dan relawan terpilih untuk memasuki jalur Gaza. Ketiga, menghalau seluruh rombongan, dan menggiring seluruh relawan ke Ashdod. Jika skenario terakhir yang berlaku, "Jangan ada perlawanan. Kita adalah rombongan kemanusiaan yang anti-kekerasan" begitu pesan Bullent Yildirim, Presiden IHH kepada seluruh relawan di Mavi Marmara.

Tapi melihat dari gelagat yang berkembang, sepertinya persiapan dilakukan untuk menghadapi yang terburuk.

Pengeras suara meminta kepada semua relawan yang memiliki latar belakang medis untuk bisa hadir dalam briefing di Ruang Kesehatan kapal pukul 18.00 waktu setempat. Dan kesanalah gw, serta dua orang dokter asal Malaysia berkumpul.

Well, ada sekitar 12 orang dokter dan 2 perawat yang berkumpul. Lima orang dokter Turki, 2 Malaysia, 1 Indonesia, 1 Aljazair, 1 Kuwait, 1 Jerman. Si Koordinator Medis menerangkan pos-pos kesehatan yang akan dibentuk, meminta kami membagi dalam kelompok 3 orang, dan menunjuk pos kami. Jadilah gw bersama 2 dokter Malaysia ditempatkan di bagian buritan lantai 4 kapal. Selanjutnya, koordinator membagi rompi yang telah diisi saku-sakunya dengan obat P3K. Dan mempraktekkan cara menggunakan masker gas. Masker gas? Serius nih. Bahkan dalam situasi sangat parah pun, di MER-C nggak pernah kepikiran menggunakan masker gas. Back to the past, waktu demo tahun 98, kami malah cukup membasahi kain dengan air dan menutupinya ke hidung untuk melawan gas air mata. Pemikiran lain dari gw, gimana bisa ngobrol ke sebelahnya kalo muka udah ketutupan masker gas. Tapi tetep aja masker itu gw ambil. Masalah dipake ato nggak, urusan belakang.

Kembali ke barisan orang Indonesia dan Malaysia, gw mempraktekkan ke teman-teman bagaimana cara memasang dan mengikat tali lifejacket dengan benar. Dalam hati gw mengutuk model lifejacket yang udah ketinggalan jaman. Dengan model hanya setengah dada, kalo tidak teliti mengikat, bukannya ngapung di air, yang ada malah pelampung itu "kabur" dari badan dan menutupi muka kita. Gw menunjukkan kemana tali-tali itu harus mengait dan simpul sederhana yang digunakan. Beres.

Dan, semua kegelisahan ini menular dengan cepat. Kulihat seluruh penumpang bersiap memakai pelampung, yang kubilang sih masih terlalu dini untuk dilakukan.
Nampaknya, setelah pengumuman itu, yang ada dalam benak relawan adalah kesiapsiagaan untuk menghadapi Israel yang akan menyerang Mavi Marmara.

60 Hours Above the Sea - bagian 9

Engga disangka ternyata kami sudah tidak bergerak lagi selama 32 jam sejak kapten memutuskan kapal berhenti untuk menunggu kedatangan kapal lain. Memang dalam flotilla ini, Turki bukan satu-satunya negara yang menyediakan kapal untuk ikut berlayar. Masih ada dari Irlandia, Swedia, dan Yunani.

Sambil iseng sekedar mengambil gambar dan mengamati kegiatan para penumpang, gw nyalain GPS dari hipback gw. Cukup lama juga proses transmitting dan receiving dari satelit di atas kepala sebelum akhirnya muncul segitiga kecil ditengah warna biru. Thar's us! Perkiraan terbaik dari GPS menunjukkan Mavi Marmara berada paling tidak 80 kilometer dari pantai selatan Pulau Cypruss, dengan haluan mengarah ke barat laut.

Semakin lama, kegiatan membunuh kebosanan semakin ramai terlihat.

Di salah satu pojokan, terlihat seorang syaikh asal Kuwait sedang menggelar kuliah hadits dengan audiens para ummahat. Sementara di lambung kapal sebelah kanan beberapa joran pancing terjulur keluar. Seorang pria gw asik dengan binocularnya mengamati Gazze I yang berada tidak jauh dari Mavi Marmara. Tak lama kemudian, Gazze I bergerak mengelilingi Mavi Marmara layaknya seekor angsa jantan yang memutari betinanya. Manuver ini disambut dengan tepuk tangan dan suitan riuh rendah dari dek Mavi Marmara. Kru Gazze I pun membalas dengan melambaikan tangan ke arah kami.

Namun, tetap saja kapal yang ditunggu belum hadir juga.

Pagi hari, seperti biasa, antrian terpusat di dua titik; pantry dan toilet. Kamar mandi sudah tidak dipenuhi seperti hari-hari kemarin, malam setelah masuk ke hari ketiga, persediaan air segar sudah habis. Jadi kami menggunakan air laut untuk keperluan membilas toilet, dan berwudhu. Gw pribadi sudah menduga seperti itu. Jadi, sebelum berangkat dari Kepez, gw udah mandi yang terakhir. Jaga-jaga kalo di kapal nggak bisa mandi. Dan syukurnya nih perut juga pengertian. Selama di kapal, kegiatan buang hajat no.1 tidak pernah terlintas. Hanya no.2 yang rutin beberapa kali dalam sehari.

Keluar dari kabin, suasana masih seperti kemarin. Obrolan santai makin sering terjadi pada beberapa kelompok. Wartawan makin intens menyetor berita berupa feed satelit dari fasilitas yang disediakan oleh IHH.

Ada dua topik hangat yang datang hari ini: rombongan kapal lain sudah kontak dengan kapten Mavi Marmara, dan rencana dari Israel untuk menggiring flotilla ke Ashdod, menawan relawan dan mendeportasi kami kembali ke negara asal.

Dan, memang benar. Tengah hari satu persatu kapal-kapal itu berdatangan. Hingga menjelang maghrib seluruh formasi sudah terbentuk. Total ada 6 kapal yang berkumpul, dan kemudian dengan berbanjar, pekikan Allahu Akbar dari sebagian penumpang, kami bergerak meneruskan perjalanan menuju Gaza. Sungguh, saat memandang jauh ke belakang, melihat kelima kapal yang lain, ada perasaan berbeda. Kebanggaan, haru, atau apa pun. Berbeda dari sekedar melihat iring-iringan kapal di Sail Bunaken 2009.

Sabtu, 24 Juli 2010

60 Hours Above the Sea - bagian 8

Hari kedua di kapal.
Setelah tepar seharian, kayanya hari ini lebih enakan. Tapi tetep gw ga mau ngisi perut. Sayang aja kalo entar dikeluarin lagi.

Tapi wangi sup tomat yang dibawa temen sebelah gw bikin cacing-cacing dalam perut pada belingsatan. Dengan berharap sistem kesembangan gw udah normal, gw jalan ke pantry ngambil sop instan, menuangkan ke gelas styrofoam, menambahkan air panas, dan sepotong roti. Dan ternyata,.....Uenaaakk, tenan...nn. Malah jadinya gw nambah roti lagi karena semakin diisi dengan sop hangat, perut gw makin minta diisi.

Dan tampaknya hari ini bisa gw isi dengan aksi baru..

Di atas gw kenalan sama relawn lain, ngobrol dengan mereka, latar belakang mereka ikut
pelayaran ini. Banyak dari mereka yang nyangka gw adalah wartawan. Dengan kamera SLR Olympus, cukup oke sebagai tentengan seorang tukang foto. Dan gw lebih memilih tidak menerangkan profesi gw yang sebenarya. Kayanya lebih baik begitu.

Terus begitu. Disamping bantuin Yasin (kru TVOne) take gambar buat dikirim ke Jakarta. Di Mavi Marmara ini, cuma wartawan yang dapet akses internet. Jadi sementara ini hasil jepretan gw disave ke laptop dan hanya beberapa saja yang penting dikirim ke kantor via akun Yasin. Yang jelas, di kapal ini gw banyak belajar. Diskusi dengan kameramen dari TV channel lain
tentang teknik pengambilan gambar, diskusi dengan relawan lain tentang perkembangan Islam di negaranya, dan yang terpenting adalah diskusi tentang Israel dan pembebasan Gaza dan Palestina.

Tapi sepertinya kami sudah tidak bergerak lagi.

Dan memang begitu. Kapten kapal mengumumkan bahwa kita berada di perairan internasional
menunggu kehadiran kapal-kapal lain dari Eropa. Dan yang paling ditunggu adalah MV Rachel Corrie yang didalamnya memuat aktivis Free Gaza Movement, Huwaida Arraf. Perempuan Palestina warga negara USA ini adalah motor FGM yang sering menyuarakan pembebasan Gaza. Nama kapalnya diambil dari aktivis USA yang tewas tahun 2003 menghadang tank Israel yang mencoba menggusur perumahan penduduk Palestina di Tepi Barat.

Menjelang pukul 2 siang, terdengar riuh rendah suara orang bertepuk tangan dan bersuit-suitan. Di kejauhan sana nampak sebuah kapal kecil mendekat. Berwarna putih, seperti seekor angsa yang berenang di tengah birunya air laut. Dan tak lama kapal tersebut, Challenger II, merapat ke sisi Mavi Marmara. Dari atas kapal, kulihat sesosok tubuh yang familiar. Ya, dia memang Huwaida. Tapi, kenapa dia dan seluruh orang dari Challenger berpindah ke Mavi Marmara?

Selanjutnya baru gw tahu kalo Challenger II mengalami kerusakan
pompa hidrolik, yang dicurigai akibat sabotase. Akibatnya kerusakan itu, terpaksa Challenger II harus merapat ke Cyprus untuk perbaikan. Well, one down. Will another follow. Sudah menjadi kabar burung bahwa salah satu usaha Israel menggagalkan pelayaran ini adalah dengan menyabotase kapal-kapal peserta.

Apakah Challenger II adalah korban sabotase? Tidak ada yang tahu. Yang jelas jika iya, berarti yang melakukan adalah salah satu penumpang Challenger II, dan sekarang mereka berada di Mavi Marmara di antara kami

nenek Moyangku BUKAN Pelaut - bagian 7

Setelah semalam di kabin kapal, tidur kelelahan akibat aktivitas seharian, rasanya udara pagi di tengah laut terlalu bagus untuk dilewatkan. Diawali dengan sarapan pagi di pantry kapal. Secangkir teh manis dan roti bawang cukup untuk memulai hari ini. Bergegas gw naik ke anjungan. What a shiny day. Walau harusnya sudah masuk spring, tapi disini di Laut Tengah, suasana dinginnya winter masih terasa. Jadi gw terpaksa turun lagi mengambil windbreaker dan topi hangat.

Di luar tidak sampe 10 menit, dan perjalanan baik ke kabin juga tidak ada yang aneh. Tapi yang jelas, tujuan gw tidak berakhir di kabin gw. Where? Di toilet karena entah bagaimana tiba-tiba gw merasa asam lambung gw meloncat sampe ke kerongkongan dan minta dilepaskan. Untungnya toilet pagi itu masih sepi, jadi gw bisa leluasa (dan yang paling penting ga malu!) memuntahkan isi perut yang berontak. Well, that's turn my day out. Tadinya mau mandi matahari, sekarang malah kudu mandi beneran karena muntah beleleran...Yaiks...

Jadi lah gw seharian itu mengadaptasikan telinga tengah gw. Berharap batu-batu kecil di rumah siput telinga gw segera insyaf, dan kembali bisa membedakan mana yang vertikal dan horisontal. Sekitar 3 jam proses 'reset' itu gw kerjain. Cuma berbaring, minum air putih. Jadi ketika ada undangan dari deldegasi Indonesia lain untuk diskusi dengan ulama terkenal asal Tepi Barat, Syeikh Raeed Salah, rasanya terlalu penting untuk ditinggalkan.

Huff, begitu badan bangun dari tiduran ke posisi duduk, keliyengan itu mampir lagi. Tapi kali ini cuma sebentar, dan dengan beberapa kali tarikan napas panjang, kepala ini rasanya lebih enteng. Segera gw ambil kamera digital untuk mengabadikan momen nanti. Salah satu jobdesk yang melekat di misi ini adalah gw sebagai mat kodak. Dokumentasi tanggung jawab gw.

Sesampai di bagian buritan kapal lantai yang sama, sudah hadir delegasi Indonesia bergabung dengan Malaysia, kurang lebih 15 orang, semua lesehan di lantai kecuali sang syeikh yang duduk di kursi plastik. Baru juga 2 menit gw duduk di lantai, mual itu datang lagi. Karena malu, gw coba bertahan dengan pura-pura berdiri mengambil gambar dari berbagai angel. Tapi perasaan yang sama masih belum berkurang, sehingga mau tidak mau gw mesti lari keluar dan jackpot di samping dek. Saat gw baru mau muntah, eh ternyata disamping kepala gw persis ada kamera CCTV. Sialan, terpaksa gw pindah. Gw ga mau muka gw yang lagi pias kerekam kamera, dan lebih parah lagi gw ga mau orang yang di ruang kontrol ikut-ikutan muntah gara-gara ngeliat close-up gw muntah. Dan tugas itu terlaksana dengan lancar.

Singkatnya, masih ada beberapa letusan-letusan kecil hari itu. Dan gw terpaksa menghabiskan hari pertama dengan tiduran di sofa kapal.

Jumat, 23 Juli 2010

Ay..Ay..Captain - bagian 7



Setidakmya itu yg ada dalam benak gw saat hari keberangkatan kami dengan Mavi Marmara diumumkan. Kamis sore (sebenarnya menurut jam sudah malam, sekitar 19.22 waktu Turki), kami berkemas dan berangkat meninggalkan Kepez Sporthall menuju dermaga Antalya. Berarti 3 hari sudah kami berada di Antalya menunggu hari "besar' itu.

Jumlah relawan diumumkan tidak kurang dari 600 orang, jauh lebih sedikit dari kapasitas kapal sebanyak 800-an penumpang. Sebelum berangkat, seluruh relawan diminta untuk menandatangani kontrak untuk taat pada perintah pimpinan dan tidak melakukan tindakan yang menjurus kepada kekerasan dalam situasi apa pun. Seluruh senjata, api dan tajam, dilarang dibawa ke atas kapal. Dan hanya yang terdaftar dalam manifest penumpang yang bisa naik.

Luar biasanya, jumlah pengantar kami dua kali lipat jumlah yang berangkat. Sungguh
masyarakat Antalya menghargai ketulusan relawan yang akan membantu Gaza. Banyak diantara masyarakt yang mengantar menitipkan oleh-oleh atau bahkan makanan kecil untuk kami konsumsi selama di kapal. Saat itu, gw pikir ini rada kelewatan. perjalanan hanya memakan waktu kurang dari 36 jam, jadi kami tidak akan kelaparan di laut nanti.

Gelap sudah mulai turun saat kami masih berjuang dalam antrian menaiki Mavi Marmara. Stu per satu barang bawaan kami melalui mesin X-ray. Di sini, dua tongkat yang tadinya adalah pegangan sekop yang kami copot untuk memudahkan packing, diambil oleh keamanan imigrasi dan panitia dari IHH. "Ini tidak boleh dibawa." kata mereka. "Lho,..ini bukan senjata!" protes kami. "Ini PEGANGAN sekop untuk nanti kami peletakan batu pertama di Gaza." "Ya, apa pun. Yang jelas ini tidak bisa naik!" Jadilah dua gagang sekop itu korban pertama.

Korban berikutnya ternyata adalah gw sendiri. Surprise, walau sudah menandatangani kontrak, update data anggota, ternyata nama gw tidak ada di manifest. Yang mengagetkan, justru nama dr. Jose yang masih nongol di bagian anggota tim. Walah, kayanya niat kurang kuat nih makanya nggak diijinin berangkat sama Allah, demikian renunganku. Walhasil, panitia menjanjikan mengurus keberangkatan setelah SEMUA penumpang yang terdata check in. Mendingan lah, daripada harus balik badan. Masak gw bye-bye ke temen sendiri....

Dua jam menunggu dan melihat penumpang lain antri naik kapal, dalam udara yang makin dingin, akhirnya mereka memanggil juga. "What's your name?" Gw sebut nama gw dan menyerahkan paspor. "Been to Gaza before?" tanyanya melihat cap imigrasi Palestina. "Stay for three months." jawabku biasa. "No kidding, what were you doing for three months?" Many things, and after we arrive to Gaza, soon we'll start to build hospital." harap gw. "Oke, you may enter.." Alhamdulillah,... Ay..ay captain....

Tidak sulit menemukan dimana rombongan Indonesia lain berada. Semua ngumpul di salah satu pojokan di area buritan kapal. Sudah pukul sepuluh menjelang sebelas malam dan gw belum sholat maghrib.


Kamis, 22 Juli 2010

Kepez - bagian 6

Di Kepez Sporthall ini lah kami beraktivitas selama menunggu kehadiran Mavi Marmara. Gelanggang Olah Raga kebanggan kota Kepez ini dipilih karena memiliki beberapa keuntungan, antara lain (tentu) lapangan basket luas untuk tidur peserta, dan yang terpenting bagi wartawan adalah akses internet wireless yang memudahkan kerja mereka mengunggah berita dan foto. Maka jadilah dimana-mana laptop berserakan. Tentu saja, di antara semua rutinitas mengirim dan mencari berita, beberapa masih aktif mengupdate status facebooknya.

Satu-satunya kelemahan GOR Kepez adalah kamar mandi. Maklum saja, disini para pemain
biasa mandi dalam ruang ganti dimana kamar mandi mereka berupa shower tanpa sekat. Tentu risih dan tidak nyaman bagi semua relawan yang kebanyakan muslim. Ma
ka jadilah kamar mandi sebagai ajang blokade baru. Walau rata-rata setiap kamar ganti memiliki 6 shower, tapi tetap kami harus mandi satu per satu karena kamar mandi dikunci dari dalam.
Untung juga waktu itu musim semi masih cukup dingin, jadi banyak diantara kami menganggap wudhu sebelum sholat cukup untuk menggantikan mandi rutin.

Di Kepez ini suasana persaudaraan terbina. Semua saling berbagi dan semua ingin membantu.
Yang mudaj menolong yang tua, yang tua mengasihi dan membimbing yang muda dengan nasehat. Tidur satu lantai dengan sleeping bag, makan mengantri dari meja yang sama disediakan panitia. Sungguh, nyamannya kebersamaan membuat rasa pegal akibat tidur di lantai dan dinginnya udara hilang tak terasa.

Delegasi Indonesia cukup mendapat perhatian disini. Bergabung bersama delegasi Malaysia, jumlah kami 24 total, cukup besar untuk menunjukkan keunikan tersendiri. Ada yang pake sarung, pake peci. Satu yang membedakan, di antara semua relawan, hanya satu orang yang tidak tidur menggunakan sleeping bag. Gw bangga tidur di hammock. Tempat tidur gantung ini efektif gw ikat di antara tiang-tiang yang ada. Hasilnya gw punya tempat eksklusif.

Sudah lewat 2 hari tapi panitia masih belum memberitahukan kapan kami akan berkemas menuju Mavi Marmara. Baru pada hari ketiga, dalam jumpa pers, mereka menyebutkan misi dari kegiatan kemanusiaan ini dan ternyata keberangkatan ditunda karena menunggu kedatangan kapal lain menuju check point yang telah disepakati. Saat itu setidaknya ada 8 kapal yang akan tergabung dalam Flotilla to Gaza, nama resmi pelayaran relawan ini. Tiga kapal dari Turki, dan sisanya dari berbagai negara seperti Swedia, Yunani, Uni Eropa dan Irlandia.


Maaf,....


Beribu maaf bagi rekan-rekan yang menantikan cerita Mavi Marmara. Belakangan sering blank begitu di depan laptop untuk ngelanjutin cerita. Yang ada makin lama makin males.

Ini jadinya mencambuk diri mengisi waktu di tengah kesibukan beraktivitas di Gaza. Memang, alhamdulillah, kami sudah berhasil masuk ke Gaza lagi untuk meneruskan program pembangunan RS Indonesia. Jadi, doakan kami ya...