Jumat, 29 Oktober 2010

Selamat Jalan, mBah Maridjan

Secara pribadi, gw nggak kenal beliau. Hanya satu yang gw (dan juga mungkin khalayak lain) ingat adalah satu kata dari mulutnya : "ROSA" untuk iklan sebuah minuman energi. Bahkan, mengingat posisinya sebagai penjaga gunung Merapi yang notabene penugasan dari Ngarso Dalem Ngayogyokarto Hadiningrat, gw sempet suudzon dengan perilaku tirakatan yang menurut gw berbau musyrik dan mistik.

Tapi bukan itu yang menusuk perhatian gw setelah media ramai dengan liputan kematiannya. Apalagi dengan posisi beliau yang konon sedang sujud.

Yang terkenang dalam pikiran gw adalah LOYALITAS tanpa batas yang disampaikan secara tersirat. Berapa kali relawan kemanusiaan datang membujuk beliau untuk turun gunung karena Merapi sudah Siaga? Apa jawabannya? "Saya ditugaskan untuk menjaga Merapi, kalo saya turun, lha apa saya ndak dikeploki bocah-bocah?" jawabnya polos.

Beliau adalah orang yang paling mengerti tentang perilaku Merapi, jadi paling tahu tentang resiko pekerjaannya. Sesuatu yang dalam manajemen modern menjadi titik tolak berapa besar seseorang digaji. Tapi coba tengok slip gaji yang ditemukan dari sisa reruntuhan rumahnya. Sebulan beliau digaji sekitar 54 ribu rupiah saja. Artinya, tidak sampai Rp 20.000,- sehari untuk sebuah pekerjaan beresiko tinggi.
"Saya itu disini bukan hanya sekedar njagani Merapi untuk kepentingan sekitar sini, tapi juga biar tempat lain aman," ujarnya penuh kerendahan. Merapi sendiri dikelilingi 4 kabupaten; Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali. Bayangkan berapa ratus ribu jiwa yang terancam oleh letusan Merapi. Itu baru kawasan lokal, bagaimana dengan regional? Itu lah kenapa dalam perspektif bencana, sosok seperti mBah Maridjan disebut sebagai local wisdom.

Jujur, gw terkesan dengan pengabdian hingga akhir, mBah Maridjan. Dalam benak dia, tak terbersit berapa beliau dibayar, atau resiko yang jauh melebihi kapasitasnya. Penanganan bencana Indonesia memerlukan Maridjan-Maridjan lain, agar penanganan bencana jauh lebih konkrit, tidak sekedar lip service dan berita basa-basi mencari sensasi.

Minggu, 17 Oktober 2010

Pengalaman dan perjuangan untuk sekolah lagi ...

Setelah hampir 5 tahun lulus dan tidak sekolah, akhirnya saya diberi kesempatan lagi oleh Allah SWT untuk menuntut ilmu lagi. Dan sungguh tidak disangka, kesempatan itu sangat luar biasa yaitu belajar di negeri orang, di University of Leeds, United Kingdom.


Untuk bisa mendapatkan kesempatan belajar (kalau di PNS biasanya tugas belajar atau ijin belajar) memang perlu perjuangan dan pengorbanan yang kadang tidak kecil. Perjuangan seperti mengikuti kursus atau tes bahasa Inggris (TOEFL atau IELTS). Pengorbanan seperti harus meninggalkan keluarga untuk beberapa saat, baik saat kursus ataupun saat belajar, bagi mereka yang berusaha sendiri (menggunakan biaya sendiri) maka ada juga pengorbanan dari sisi finansial. Semua itu harus dihadapi dan dijalani, walau kadang kita merasa capek, tidak yakin dan semua perasaan yang menjauhkan kita dari keberhasilan.


Perjuangan saya untuk kembali ke sekolah telah saya mulai sejak setahun sebelumnya di awal 2009. Dimulai dengan mendaftar ke berbagai universitas di Australia dan New Zealand, akhirnya saya mengetahui bahwa universitas non-US lebih menghendaki hasil tes bahasa Inggris IELTS dibandingkan TOEFL. Sejak saat itu saya mulai kursus IELTS Preparation di CILACS UII Yogyakarta dan segera menjalani tes IELTS di Semarang pada bulan April 2009. Untuk mengikuti tes IELTS ini juga tidak mudah, selain syarat tes yang lebih ketat daripada TOEFL (isi formulir lengkap foto dan hanya boleh bawa pencil-pena-penghapus dan sebotol air minum saat tes), biayanya juga tidak sedikit, sekitar US$ 180-205 per tes.


Bagi yang belum mengetahui tes IELTS, tes ini terdiri atas 2 jenis, Academic dan General. Academic diperlukan untuk sekolah dan kursus, General diperlukan untuk keperluan kerja. Kedua jenis IELTS tersebut, terbagi dalam 4 bagian tes, yaitu Listening, Reading, Writing dan Speaking. Jadi sangat mencerminkan kemampuan berbahasa Inggris kita, hal yang menurut saya berbeda dengan TOEFL (yang biasanya hanya Listening dan Reading). Dan jangan lupa, nilai IELTS berlaku selama 2 tahun sejak tanggal tes, sama halnya dengan TOEFL.

Tidak disangka, hasil IELTS saya 6.0 dengan hasil writing hanya 5.0. Padahal untuk bisa diterima di universitas yang baik, diperlukan hasil rata-rata 6.5 dengan nilai per bagian minimum 6.0. Setelah belajar lagi selama 2,5 bulan, saya kembali mengikuti tes IELTS lagi di bulan Juli 2009. Akhirnya ada peningkatan, overall score 6.5 tapi writing score masih 5.5. Di tahap ini, kita harus tegar, di satu sisi kita merasa kecewa karena nilai ini ternyata belum cukup untuk bisa lulus tanpa syarat (istilahnya unconditional offer) ke universitas yang baik, padahal kita sudah membayar biaya tes yang sangat tinggi. Tetapi di sisi lain, kita juga harus bersyukur dan melihat ada peningkatan nilai. Artinya, kita masih bisa berkembang jika kita mau berusaha dan belajar.


Setelah itu saya tetap belajar dan rajin mencari beasiswa di internet, bahkan di trimester akhir 2009 juga mendapat tawaran untuk berbicara di suatu konferensi di Singapore (International Quality and Productivity Centre - Healthcare Management and Informatics). Walaupun nampak seperti di luar usaha untuk kembali ke sekolah, tawaran menjadi pembicara dalam konferensi juga merupakan bagian yang mendukung keberhasilan saya. Salah satunya adalah saya harus membuat presentasi dan teks dalam bahasa Inggris, melatih percaya diri untuk berbicara bahasa Inggris di depan orang banyak dan juga bisa masuk dalam CV (ini juga penting!). Konferensi tersebut berhasil saya jalani dengan baik dan mendapat respon yang cukup baik dari audience di bulan Februari 2010.


Sekembali dari Singapore, saya mendapat informasi mengenai beasiswa dari DSF (Decentralization Support Facility) melalui Kementerian Dalam Negeri RI. Dalam waktu yang singkat, saya segera mendaftar dan melengkapi persyaratannya (saya dapat informasi hanya 3 hari menjelang deadline). Kejutan! Mengapa? Karena ini adalah beasiswa ke-4 yang saya ikuti selama ini dan saya mendapat kabar yang positif. Dalam 1,5 bulan saya mendapat panggilan untuk melakukan wawancara di Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri RI di Kalibata, Jakarta. Singkatnya, saya akhirnya dikursuskan IELTS lagi selama 7 minggu dan di akhir kursus harus menjalani tes IELTS, kali ini gratis tentunya karena dibayar oleh sponsor. Agar bisa lulus, beasiswa, saya harus mendapat minimum overall score 6.5 dan tidak ada score per bagian di bawah 6.0.


Di awal bulan Agustus 2010, akhirnya saya menerima hasil IELTS saya ... overall score 6.5, listening 7.0, reading 6.5, writing, 6.0, speaking 6.5. Sepintas nampak bahwa tidak ada kenaikan, overall score masiih sama dengan tes tahun lalu, bahkan speaking malah turun 0.5. Tapi sebetulnya, hasil IELTS kali ini sangat berharga dan merupakan keberhasilan besar. Mengapa? Karena minimum overall score tercapai dan tidak satupun ada nilai di bawah 6.0, artinya nilai IELTS kali ini bisa digunakan untuk sekolah (hampir) di manapun. dan memang pada akhirnya, saya lulus beasiswa DSF dan mendapat unconditional offer dari University of Leeds.


Apa pelajaran yang bisa saya (atau kita) ambil dari pengalaman tersebut?

  • Bahwa kita harus berusaha dan pantang menyerah.
  • Setiap usaha pasti ada pengorbanan tapi di ujung usaha tersebut pasti ada sesuatu yang berharga dan bisa kita pelajari untuk ke depan.
  • Kita masih bisa berkembang (dalam hal ini saya membuktikan dari hasil usaha saya belajar bahasa Inggris).
  • Dan seperti yang selalu diingatkan istri saya kepada saya, "Kamu harus berusaha keras dan setelah itu berserah diri, karena yang menentukan pada akhirnya adalah Allah SWT. Jika kamu tidak berserah diri maka semuanya akan terasa berat"

Jumat, 15 Oktober 2010

Belajar dari Chile

Proses evakuasi 33 pekerja tambang yang terperangkap selama lebih dari dua bulan bukan saja upaya yang bikin jantungan, tapi lebih dari itu sangat memberikan inspirasi bagi siapa saja yang mengikuti prosesnya. Entah semenjak awal, atau baru pada bagian akhir dari proses ini. Sebagai sebuah usaha yang dikerjakan manusia, ada begitu banyak pelajaran yang bisa disimak dari kejadian ini.

Adalah Presiden Chile, Sebastian Pinera, tokoh dibalik keberhasilan ini. Dan, sudah bisa ditebak, uung-ujungnya dia dielu-elukan sebagai pahlawan tidak saja di negaranya namun juga di seantero jagad. Menurut Pinera, kerja ini bukanlah upaya untuk mengalahkan kematian melainkan bagaimana kita menghargai kehidupan.

Berikut catatan yang kubuat untuk dijadikan renungan belajar kita dari kasus Chile:

1. Pinera baru menjabat sebagai presiden kurang dari setahun. Dalam masa ini, pemerintahannya telah berhasil mengatasi dua bencana besar di Chile. Sebelumnya pada 27 Februari 2010, Chile juga dihajar gempa besar berkekuatan 8,6 MMI (ada yang mengatakan 8,8 MMI). Namun berbeda dengan Haiti yang langsung diserbu oleh lembaga bantuan internasional, Sebastian Pinera langsung mengatakan bahwa Chile mampu mengatasi sendiri kejadian tersebut. Dari sini aku mencoba mengerti bahwa kepemimpinan seseorang tidak berhubungan dengan masa jabatannya.

2. Latar belakang Pinera adalah bussinesman. Pun seorang bergelar PhD. Entah bagaimana ia menggabungkan keduanya. Sebelum menjadi presiden, Pinera adalah pemilik sebuah stasiun televisi berpengaruh di Chile. Namun untuk menghilangkan konflik kepentingan, ia menjual sahamnya di perusahaan terebut. Toh tanpa stasiun TV miliknya lagi, ia tetap menjadi tokoh utama liputan dari dalam dan luar negeri Chile. Hikmah kedua : kalau kita mengerjakan sesuatu dengan benar, kita tidak perlu repot dengan pencitraan.

3. Chile bukanlah negara kaya. Tahun lalu GDP mereka sebesar US$ 14,000 jauh dibawah Amerika Serikat yang mencapai US$ 35,000 per tahun. Tapi sepertinya upaya yang menelan biaya tak kurang dari US$ 10 juta ini terlihat seperti limitless budget. Hampir seluruh teknologi yang digunakan bukan berasal dari negara “maju”. Mereka mendatangkan mata bor dari Afrika Selatan, bukan AS atau Inggris yang “kaya” dengan perusahaan tambang. Mereka bekerja sama dengan ahli pertambangan dari Cina dan Mexico yang “kenyang” dengan pengalaman kecelakaan tambang. Dan yang paling menakjubkan, teknologi Phoenix1, kapsul pengangkut manusia dari perut bumi, dirancang oleh Angkatan Laut Chile. Teknologi ini kelihatan lebih menyerupai drum yang dikerek dengan katrol dan tali baja. Pelajaran ketiga : percaya akan kemampuan sendiri. Uang bukan masalah. In fact, kepedulian terhadap sesama itu menjadi magnet untuk memikul beban ini bersama-sama.

4. Yang pertama kali dikirimkan oleh tim penyelamat setelah berhasil membuat saluran penghubung adalah makanan dan alat komunikasi. Dari sini tim penyelamat intens mengabarkan setiap perkembangan di luar dan pekerja mengerti bahwa harapan hidup mereka terus tinggi, tidak lagi di ujung tanduk. Mereka tahu bahwa semua yang berada di atas masih peduli terhadap nyawa mereka.

5. Saat terjebak, adalah Luiz Ursula yang “menyatukan” hidup pekerja yang terjebak. Ia membagi jatah makan yang tersisa hingga mampu untuk bertahan hingga kiriman datang. Yang pada kenyataannya, tanpa pembagian ini, makanan yang ada hanya cukup untuk 48 jam. Ternyata saat tersulit pun bisa “diakali” jika kita merasa senasib sepenanggungan.

6. Sebagai pemimpin negara, Pinera mengontrol langsung proses evakuasi dan berada di lokasi dari detik pertama proses peluncuran Phoenix1, hingga pekerja terakhir bisa diselamatkan. Semua pekerja yang keluar dari liang dipeluk hangat oleh Pinera walau ia tahu tak satu pun dari mereka yang pernah mandi dalam 2 bulan terakhir. Tak tampak ada Paspampres atau protokoler yang mengacaukan momen ini. Pinera rela berada di lokasi selama 22 jam 37 menit menunggui proses evakuasi.

7. Setelah pekerja terakhir diselamatkan, teriakan yang keluar dari Pinera adalah: “Viva Chile!” diikuti dengan menyanyikan lagu kebangsaan Chile. Sontak seluruh orang yang ada di lokasi dan mereka yang menyaksikan melalui televisi berdiri dan bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan. Ga pake MC untuk mengomandani prosesi ini.

Well, masih banyak lah yang bisa dicatat. Tapi aku tulis yang menurutku paling menggugah.

Jangan dibandingkan sama Pak BY ya pas ke Wasior.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Mavi Marmara Diserang! bagian 12

Posisi korban tidak bagus untuk melakukan pertolongan di tempat. Dari tempat korban tergeletak, kelihatan sekali helikopter persis di depannya. bekerja di bawah desingan peluru bukan pilihan bijak. Dokter yang berguna ya dokter yang mati. Jadi gw berusaha meminta supaya korban dibawa ke dekat gw yang lebih aman. Tapi karena kayanya mereka nggak denger, jadi gw dan beberapa orang berlari ke arah korban, mencengkeram bajunya, dan menyeretnya ke belakang. Saat gw memeriksa korban, satu orang yang ternyata korban pertama gw udah jongkok megangin kepala korban.

Jari gw menelusuri leher korban. Semua sisi yang gw perkirakan tempat arteri carotis jalan gw raba. Kiri kanan, nggak terasa. Sementara dari korban terdengar suara stridor seperti orang ngorok. Saat akan membuka kelopak matanya yang terpejam itu lah baru gw sadar bahwa persis di antara kedua alisnya ada satu luka kecil. Cuma sebesar pensil. Luka peluru.
Pemeriksaan gw berhenti. Peluru masuk di daerah tersebut pasti fatal. Sweet spot para sniper. 100% akan mati.

Jadi gw umumkan kalo korban sudah meninggal. Seorang relawan meminta gw melakukan CPR. Gw bilang CPR nggak akan bermanfaat pada korban dengan kerusakan otak parah. Mendengar itu, relawan yang megangin kepala korban kontan teriak histeris. Sambil mendesis dia berbisik ke gw,"Doctor, I can feel his brain on my hands!"

Mavi Marmara Diserang! bagian 11

Huff..!! Ini bagian yang berat dan panjang..
Bukan karena trauma untuk menceritakan ulang. Gw bukan tipe orang yang seperti itu. Justru dengan menceritakan ulang, semua partisipan Mavi Marmara malah merasa berkewajiban menyebarkan kesadaran akan kebrutalan Zionis Israel kepada dunia.

Tadinya mau copas apa yang gw tulis buat buku "Perjalanan Berdarah Mavi Marmara", tapi bahasanya lurus banget. Enakan pake elu-gw disini. Dan dipendekin aja, Tuh editor buku lagi kumat malesnya kali sampe semua tulisan gw ga ada yang disensor...

Senin, 31 Mei 2010, Perairan Internasional Laut Tengah
Jam 4 pagi lewat seperti biasa azan shubuh terdengar. Kali ini jamaah lebih cepat berkumpul karena memang sedari malam banyak yang tidak tidur untuk karena berjaga. Gw sendiri naik ke tempat sholat karena tidur di kabin tempat biasa. Di luar berisik banget tadi malam. Sebenarnya nggak ada kewajiban bagi petugas medis dan wartawan untuk ikutan berjaga. Cuma ya gimana gitu, satu kapal satu misi yah mencoba berbagi tanggung jawab lah. Pikirnya dengan di luar juga bisa merem, kalo ada kejadian bisa langsung action, tapi karena berisik yah mending pindah ke dalam aja. Waktu itu udah jam 2-an malem.

Sholat kali ini lebih cepat, mungkin terimbas dari suasana tegang. Walau masih normal (artinya jamaah tidak sholat kha'uf - bergantian tiap baris ruku dan sujudnya), tapi terlihat sekali banyak yang gelisah di antara jamaah.

Tiba-tiba,"They're here..!!" pekikan ramai sudah bersahutan dari arah haluan kapal. Sontak saja beberapa jamaah yang baru selesai langsung kabur kembali ke pos masing-masing. Gw sendiri ngacir ke kabin untuk ngambil pelampung dan rompi yang dibagikan panitia berisi obat-obatan di sakunya.

Saat gw balik keluar itulah, pas buka pintu dek, terasa banget ada angin keras yang bertiup. Malam sebelumnya, Laut Tengah hampir tidak pernah berangin, karenanya banyak peserta yang memilih tidur di luar, lebih sejuk kata mereka. Tapi subuh itu angin luar biasa kencang. Windbreaker yang gw pakai samapai berkibar bagian tudungnya. Yang terlintas pertama kali di kepala gw waktu itu adalah dengan angin sekencang ini, keuntungan buat Mavi Marmara. Kalo angin kencang, ombak pasti naik. Jadi boat tentara akan susah ngedeketin Mavi Marmara.
Tapi gw salah, angin itu berasal dari helikopter di atas kepala gw. Badan helikopternya nggak kelihatan karena masih gelap. Tapi lampu sorotnya silau menerangi kapal. Buru-buru gw ngibrit ke pos jaga gw.

Saat menuju ke tempat itulah, suara buuumm...buuummm...bummm! berulang kali terdengar. Rupanya tentara sudah mulai pemanasan dengan menggunakan bom suara. Kalo canister-nya meledak dari jarak dekat, efeknya luar biasa. Nyeri karena membrana timpani belum sempat bereaksi untuk mengendur bisa bikin kita jatuh.

Di sana 2 dokter Malaysia sudah menunggu. Kami memang bertiga ngepos di dek 4 bagian buritan kapal. Tapi karena gaduh di atas kami, dek 5 tempat para jurnalis siaran langsung dan ngumpul karena ada kafe. Gw bilang ke mereka,"Saya naik ke atas. Disana tak ada yang jaga." Terus langsung gw naik tangga. Lebih dari sepuluh orang sudah ngumpul di situ. Dari posisi gw sekarang, helikopter kelihatan sangat dekat, persis di atas dek kapten.

Nggak lama, satu korban dibawa ke gw. Digotong, ditaruh di kursi panjang. Refleks gw samperin. Gw periksa nadi dan nafasnya. Seorang relawan wanita terus berteriak untuk minta dipanggilkan dokter. "I'm here. I'm a doctor", ujarku sambil terus mencari trauma pada korban itu. Tapi si wanita terus celingukan sambil teriak. Upik, team leader gw, membantu menjelaskan,"He IS a doctor. He is our doctor." Hehehe, udah terlalu biasa nggak dianggap sebagai dokter. Jadi udah nggak bisa sakit hati lagi.

"I need a knife," teriakku, tali pelampung yang mengikat tubuhnya disimpul mati. Membutuhkan waktu untuk membukannya. Lebih praktis memotong saja. Kali ini si wanita tadi mengulurkan pisau lipat-nya. Sempat senyum juga. Pisau lipat ala army sementar si wanita mengenakan celana kargo loreng juga. Udah siap perang nih, ukhti..?
Semua tali sudah kupotong, pelampung kulepas. Tapi tidak ada luka yang gw temuin. Jadi firasat gw, korban kena bom suara makanya klenger. Jadi gw tampar aja pipinya, sampe mata kami ketemu. "Look at me. Focus!" Dia diam tapi kali ini matanya ngeliatin ke gw. "Take a deep breath. Out slowly." perintah gw. Dia nurut. Satu kali,..dua kali,...tiga kali,...empat kali...
Trus dia bangun, ndeketin mulutnya ke kuping gw."Doctor, tell them. Don't let them take the captain room!" bisiknya. Gw nggak paham siapa yang dia maksud dengan them itu. Tapi gw iyain aja dan memintanya istirahat. Bukannya nurutin permintaan gw, eh malah dia berdiri dan kabur lagi ke tempat tadi dia digotong-gotong.

Helikopter masih melayang di atas dek kapten. Suara gaduh masih bersambung...

Selang lima menitan, seorang korban lagi dibawa. Kali ini langsung dibawa ke gw. Nggak ada lagi yang teriak nyari dokter. Korban kali ini kelihatan ada noda darah di ujung lengan bajunya. Napasnya sama, udah takipneu kaya korban pertama.
Tanpa komando relawan lain segera mempretelinya dari pelampung yang terpasang. Nadi oke napas cepat. Fokus nyari sumber perdarahan. Lengan nggak ada, dada nggak ada, kepala nggak ada. Dimana? Nggak ada waktu buat nyari terus. Jadi gw lakukan tindakan yang sama seperti korban pertama. Tampar dan paksa dia untuk fokus.

Cuma si korban ini kayanya shocked dengan yang menimpanya. Saat napasnya sudah reguler, dia tetap gelisah. dan saat ada helikopter mendekat, napasnya cepat lagi. Nggak ada pilihan. Jadi gw minta relawan lain mengantar dia masuk ke kabin agar tenang.

Saat itu lah di gang sebelah kiri orang makin ramai. Beberapa orang tampak berjongkok, mengerubuti satu sosok. 'Pull him here. Pull him here.." teriak kami.

Rabu, 04 Agustus 2010

UNIFIL INDONESIA!!!

Sudah lebih dari 3 tahun Indonesia ikut mengirimkan tentara perdamaian untuk menjaga perbatasan Israel - Lebanon paska konflik 2006. Dari saat mereka dikirimkan, beberapa kali pergantian, dan kegiatan mereka disana, jarang sekali press meliput kondisi tentara kita.

Hingga ketika pecah ketegangan baru di Lebanon Selatan kemarin, di media televisi nampak beberapa tentara UNIFIL dengan postur yang sangat familiar. Dan yang lebih membanggakan lagi, di lengan kiri seragam mereka melekat sang merah putih, memastikan mereka adalah saudara-saudara kita setanah air yang sedang bertugas mengawal perdamaian.

Sesungguhnya sangat sulit bersikap netral dalam situasi seperti itu.Tergantung dari sudut pandang mana, salah satu pihak akan menuduh kecenderungan posisi itu. Dalam hal ini nampak sekali para tentara UNIFIL bersama dengan tentara Lebanon yang bersenjata penuh, sehingga
keamanan Israel menuduh UNIFIL tidak bisa mencegah penyerangan itu.

Dalam sebuah tayangan lain bahkan terlihat sangat jelas seorang tentara UNIFIL, yang kami yakini berasal dari Indonesia mengibarkan bendera putih tanda ketidakberpihakannya.
Secara kebetulan, UNIFIL Indonesia berada dekat dengan lokasi dan menurut Juru Bicara UNIFIL memulai mediasi untuk penyelesaian konflik itu. Salut untuk saudara kita penjaga perdamaian, walau harus nyemplung ditengah pertempuran.

Selasa, 03 Agustus 2010

Perjalanan Berdarah Menuju Gaza


Sori neh, copaz aja dari web punya editor buku..


Judul Buku: “Pelayaran Berdarah Menuju Gaza: Kesaksian Langsung Relawan dan Wartawan Indonesia dari Kapal Mavi Marmara”

Penulis: Dzikrullah W. Pramudya, Santi Soekanto, Surya Fachrizal dkk. Penerbit: Optima, SAHABAT AL-AQSHA, Hidayatullah Media, Juli 2010 Harga: Rp.50.000,-

“Pelayaran Berdarah Menuju Gaza” merupakan buku pertama yang memuat lengkap kesaksian 12 relawan dan wartawan Indonesia di kapal Mavi Marmara. Hampir dua bulan lalu kapal yang membawa bantuan kemanusaan ke Gaza itu diserang dan dibajak oleh tentara Israel di Laut Tengah.

Buku ini ditulis dan diedit oleh sebuah tim yang berintikan tiga wartawan (sekaligus relawan) Dzikrullah W. Pramudya, Santi Soekanto dan Surya Fachrizal. Ketiganya merasakan sendiri detik-detik pembantaian dan pembajakan tentara Israel atas misi Freedom Flotilla to Gaza di kapal Mavi Marmara itu. Surya Fachrizal bahkan termasuk yang ditembak oleh tentara Israel. Peluru itu menghajar dada kanannya dan menyelusup merobek bagian-bagian dalam tubuhnya dan bersarang di perut kanannya.

Meskipun begitu, buku ini juga mewakili kesembilan relawan dan wartawan Indonesia lain di kapal itu. Ada penuturan Okvianto Emil Baharuddin yang ditembak tangan kanannya, saat memegang selang pemadam kebakaran untuk menghalau tentara Israel bersenjata lengkap yang berusaha naik ke kapal dari speedboat. Ada juga kisah Dr. Arief Rachman yang menangani beberapa korban, termasuk wartawan dan relawan Turki yang di keningnya ada lobang kecil hitam. Ternyata lobang itu tempat masuknya peluru yang membongkar otaknya sehingga syahid.

M. Fauzil Adhim, penulis buku-buku best-seller mengomentari buku ini, “Ini buku bagus, desain covernya bagus.”

“Pelayaran Berdarah Menuju Gaza” juga menyajikan rentetan peristiwa dunia sebelum dan sesudah kejadian yang menggemparkan dunia itu, yang dirangkai dengan halus oleh wartawan senior dari Malang, Pambudi Utomo.

Yang tertarik memiliki buku ini, silakan kontak: Bung Ali di +62-888-4819883 dan Bung Dadang di +62-816-4215647 atau di optimapustaka@gmail.com

Kamis, 29 Juli 2010

Malam Terakhir - bagian 10

Seperti udah gw bilang di posting yang lalu, ada beberapa skenario yang mungkin diberlakukan Israel terhadap Flotilla to Gaza ini. Pertama, membiarkan lewat dengan pengawalan dan memberi batas waktu kapan kapal harus keluar dari perairan Gaza. Kedua, dengan negosiasi, Israel hanya membolehkan sebagian kapal dan relawan terpilih untuk memasuki jalur Gaza. Ketiga, menghalau seluruh rombongan, dan menggiring seluruh relawan ke Ashdod. Jika skenario terakhir yang berlaku, "Jangan ada perlawanan. Kita adalah rombongan kemanusiaan yang anti-kekerasan" begitu pesan Bullent Yildirim, Presiden IHH kepada seluruh relawan di Mavi Marmara.

Tapi melihat dari gelagat yang berkembang, sepertinya persiapan dilakukan untuk menghadapi yang terburuk.

Pengeras suara meminta kepada semua relawan yang memiliki latar belakang medis untuk bisa hadir dalam briefing di Ruang Kesehatan kapal pukul 18.00 waktu setempat. Dan kesanalah gw, serta dua orang dokter asal Malaysia berkumpul.

Well, ada sekitar 12 orang dokter dan 2 perawat yang berkumpul. Lima orang dokter Turki, 2 Malaysia, 1 Indonesia, 1 Aljazair, 1 Kuwait, 1 Jerman. Si Koordinator Medis menerangkan pos-pos kesehatan yang akan dibentuk, meminta kami membagi dalam kelompok 3 orang, dan menunjuk pos kami. Jadilah gw bersama 2 dokter Malaysia ditempatkan di bagian buritan lantai 4 kapal. Selanjutnya, koordinator membagi rompi yang telah diisi saku-sakunya dengan obat P3K. Dan mempraktekkan cara menggunakan masker gas. Masker gas? Serius nih. Bahkan dalam situasi sangat parah pun, di MER-C nggak pernah kepikiran menggunakan masker gas. Back to the past, waktu demo tahun 98, kami malah cukup membasahi kain dengan air dan menutupinya ke hidung untuk melawan gas air mata. Pemikiran lain dari gw, gimana bisa ngobrol ke sebelahnya kalo muka udah ketutupan masker gas. Tapi tetep aja masker itu gw ambil. Masalah dipake ato nggak, urusan belakang.

Kembali ke barisan orang Indonesia dan Malaysia, gw mempraktekkan ke teman-teman bagaimana cara memasang dan mengikat tali lifejacket dengan benar. Dalam hati gw mengutuk model lifejacket yang udah ketinggalan jaman. Dengan model hanya setengah dada, kalo tidak teliti mengikat, bukannya ngapung di air, yang ada malah pelampung itu "kabur" dari badan dan menutupi muka kita. Gw menunjukkan kemana tali-tali itu harus mengait dan simpul sederhana yang digunakan. Beres.

Dan, semua kegelisahan ini menular dengan cepat. Kulihat seluruh penumpang bersiap memakai pelampung, yang kubilang sih masih terlalu dini untuk dilakukan.
Nampaknya, setelah pengumuman itu, yang ada dalam benak relawan adalah kesiapsiagaan untuk menghadapi Israel yang akan menyerang Mavi Marmara.

60 Hours Above the Sea - bagian 9

Engga disangka ternyata kami sudah tidak bergerak lagi selama 32 jam sejak kapten memutuskan kapal berhenti untuk menunggu kedatangan kapal lain. Memang dalam flotilla ini, Turki bukan satu-satunya negara yang menyediakan kapal untuk ikut berlayar. Masih ada dari Irlandia, Swedia, dan Yunani.

Sambil iseng sekedar mengambil gambar dan mengamati kegiatan para penumpang, gw nyalain GPS dari hipback gw. Cukup lama juga proses transmitting dan receiving dari satelit di atas kepala sebelum akhirnya muncul segitiga kecil ditengah warna biru. Thar's us! Perkiraan terbaik dari GPS menunjukkan Mavi Marmara berada paling tidak 80 kilometer dari pantai selatan Pulau Cypruss, dengan haluan mengarah ke barat laut.

Semakin lama, kegiatan membunuh kebosanan semakin ramai terlihat.

Di salah satu pojokan, terlihat seorang syaikh asal Kuwait sedang menggelar kuliah hadits dengan audiens para ummahat. Sementara di lambung kapal sebelah kanan beberapa joran pancing terjulur keluar. Seorang pria gw asik dengan binocularnya mengamati Gazze I yang berada tidak jauh dari Mavi Marmara. Tak lama kemudian, Gazze I bergerak mengelilingi Mavi Marmara layaknya seekor angsa jantan yang memutari betinanya. Manuver ini disambut dengan tepuk tangan dan suitan riuh rendah dari dek Mavi Marmara. Kru Gazze I pun membalas dengan melambaikan tangan ke arah kami.

Namun, tetap saja kapal yang ditunggu belum hadir juga.

Pagi hari, seperti biasa, antrian terpusat di dua titik; pantry dan toilet. Kamar mandi sudah tidak dipenuhi seperti hari-hari kemarin, malam setelah masuk ke hari ketiga, persediaan air segar sudah habis. Jadi kami menggunakan air laut untuk keperluan membilas toilet, dan berwudhu. Gw pribadi sudah menduga seperti itu. Jadi, sebelum berangkat dari Kepez, gw udah mandi yang terakhir. Jaga-jaga kalo di kapal nggak bisa mandi. Dan syukurnya nih perut juga pengertian. Selama di kapal, kegiatan buang hajat no.1 tidak pernah terlintas. Hanya no.2 yang rutin beberapa kali dalam sehari.

Keluar dari kabin, suasana masih seperti kemarin. Obrolan santai makin sering terjadi pada beberapa kelompok. Wartawan makin intens menyetor berita berupa feed satelit dari fasilitas yang disediakan oleh IHH.

Ada dua topik hangat yang datang hari ini: rombongan kapal lain sudah kontak dengan kapten Mavi Marmara, dan rencana dari Israel untuk menggiring flotilla ke Ashdod, menawan relawan dan mendeportasi kami kembali ke negara asal.

Dan, memang benar. Tengah hari satu persatu kapal-kapal itu berdatangan. Hingga menjelang maghrib seluruh formasi sudah terbentuk. Total ada 6 kapal yang berkumpul, dan kemudian dengan berbanjar, pekikan Allahu Akbar dari sebagian penumpang, kami bergerak meneruskan perjalanan menuju Gaza. Sungguh, saat memandang jauh ke belakang, melihat kelima kapal yang lain, ada perasaan berbeda. Kebanggaan, haru, atau apa pun. Berbeda dari sekedar melihat iring-iringan kapal di Sail Bunaken 2009.

Sabtu, 24 Juli 2010

60 Hours Above the Sea - bagian 8

Hari kedua di kapal.
Setelah tepar seharian, kayanya hari ini lebih enakan. Tapi tetep gw ga mau ngisi perut. Sayang aja kalo entar dikeluarin lagi.

Tapi wangi sup tomat yang dibawa temen sebelah gw bikin cacing-cacing dalam perut pada belingsatan. Dengan berharap sistem kesembangan gw udah normal, gw jalan ke pantry ngambil sop instan, menuangkan ke gelas styrofoam, menambahkan air panas, dan sepotong roti. Dan ternyata,.....Uenaaakk, tenan...nn. Malah jadinya gw nambah roti lagi karena semakin diisi dengan sop hangat, perut gw makin minta diisi.

Dan tampaknya hari ini bisa gw isi dengan aksi baru..

Di atas gw kenalan sama relawn lain, ngobrol dengan mereka, latar belakang mereka ikut
pelayaran ini. Banyak dari mereka yang nyangka gw adalah wartawan. Dengan kamera SLR Olympus, cukup oke sebagai tentengan seorang tukang foto. Dan gw lebih memilih tidak menerangkan profesi gw yang sebenarya. Kayanya lebih baik begitu.

Terus begitu. Disamping bantuin Yasin (kru TVOne) take gambar buat dikirim ke Jakarta. Di Mavi Marmara ini, cuma wartawan yang dapet akses internet. Jadi sementara ini hasil jepretan gw disave ke laptop dan hanya beberapa saja yang penting dikirim ke kantor via akun Yasin. Yang jelas, di kapal ini gw banyak belajar. Diskusi dengan kameramen dari TV channel lain
tentang teknik pengambilan gambar, diskusi dengan relawan lain tentang perkembangan Islam di negaranya, dan yang terpenting adalah diskusi tentang Israel dan pembebasan Gaza dan Palestina.

Tapi sepertinya kami sudah tidak bergerak lagi.

Dan memang begitu. Kapten kapal mengumumkan bahwa kita berada di perairan internasional
menunggu kehadiran kapal-kapal lain dari Eropa. Dan yang paling ditunggu adalah MV Rachel Corrie yang didalamnya memuat aktivis Free Gaza Movement, Huwaida Arraf. Perempuan Palestina warga negara USA ini adalah motor FGM yang sering menyuarakan pembebasan Gaza. Nama kapalnya diambil dari aktivis USA yang tewas tahun 2003 menghadang tank Israel yang mencoba menggusur perumahan penduduk Palestina di Tepi Barat.

Menjelang pukul 2 siang, terdengar riuh rendah suara orang bertepuk tangan dan bersuit-suitan. Di kejauhan sana nampak sebuah kapal kecil mendekat. Berwarna putih, seperti seekor angsa yang berenang di tengah birunya air laut. Dan tak lama kapal tersebut, Challenger II, merapat ke sisi Mavi Marmara. Dari atas kapal, kulihat sesosok tubuh yang familiar. Ya, dia memang Huwaida. Tapi, kenapa dia dan seluruh orang dari Challenger berpindah ke Mavi Marmara?

Selanjutnya baru gw tahu kalo Challenger II mengalami kerusakan
pompa hidrolik, yang dicurigai akibat sabotase. Akibatnya kerusakan itu, terpaksa Challenger II harus merapat ke Cyprus untuk perbaikan. Well, one down. Will another follow. Sudah menjadi kabar burung bahwa salah satu usaha Israel menggagalkan pelayaran ini adalah dengan menyabotase kapal-kapal peserta.

Apakah Challenger II adalah korban sabotase? Tidak ada yang tahu. Yang jelas jika iya, berarti yang melakukan adalah salah satu penumpang Challenger II, dan sekarang mereka berada di Mavi Marmara di antara kami

nenek Moyangku BUKAN Pelaut - bagian 7

Setelah semalam di kabin kapal, tidur kelelahan akibat aktivitas seharian, rasanya udara pagi di tengah laut terlalu bagus untuk dilewatkan. Diawali dengan sarapan pagi di pantry kapal. Secangkir teh manis dan roti bawang cukup untuk memulai hari ini. Bergegas gw naik ke anjungan. What a shiny day. Walau harusnya sudah masuk spring, tapi disini di Laut Tengah, suasana dinginnya winter masih terasa. Jadi gw terpaksa turun lagi mengambil windbreaker dan topi hangat.

Di luar tidak sampe 10 menit, dan perjalanan baik ke kabin juga tidak ada yang aneh. Tapi yang jelas, tujuan gw tidak berakhir di kabin gw. Where? Di toilet karena entah bagaimana tiba-tiba gw merasa asam lambung gw meloncat sampe ke kerongkongan dan minta dilepaskan. Untungnya toilet pagi itu masih sepi, jadi gw bisa leluasa (dan yang paling penting ga malu!) memuntahkan isi perut yang berontak. Well, that's turn my day out. Tadinya mau mandi matahari, sekarang malah kudu mandi beneran karena muntah beleleran...Yaiks...

Jadi lah gw seharian itu mengadaptasikan telinga tengah gw. Berharap batu-batu kecil di rumah siput telinga gw segera insyaf, dan kembali bisa membedakan mana yang vertikal dan horisontal. Sekitar 3 jam proses 'reset' itu gw kerjain. Cuma berbaring, minum air putih. Jadi ketika ada undangan dari deldegasi Indonesia lain untuk diskusi dengan ulama terkenal asal Tepi Barat, Syeikh Raeed Salah, rasanya terlalu penting untuk ditinggalkan.

Huff, begitu badan bangun dari tiduran ke posisi duduk, keliyengan itu mampir lagi. Tapi kali ini cuma sebentar, dan dengan beberapa kali tarikan napas panjang, kepala ini rasanya lebih enteng. Segera gw ambil kamera digital untuk mengabadikan momen nanti. Salah satu jobdesk yang melekat di misi ini adalah gw sebagai mat kodak. Dokumentasi tanggung jawab gw.

Sesampai di bagian buritan kapal lantai yang sama, sudah hadir delegasi Indonesia bergabung dengan Malaysia, kurang lebih 15 orang, semua lesehan di lantai kecuali sang syeikh yang duduk di kursi plastik. Baru juga 2 menit gw duduk di lantai, mual itu datang lagi. Karena malu, gw coba bertahan dengan pura-pura berdiri mengambil gambar dari berbagai angel. Tapi perasaan yang sama masih belum berkurang, sehingga mau tidak mau gw mesti lari keluar dan jackpot di samping dek. Saat gw baru mau muntah, eh ternyata disamping kepala gw persis ada kamera CCTV. Sialan, terpaksa gw pindah. Gw ga mau muka gw yang lagi pias kerekam kamera, dan lebih parah lagi gw ga mau orang yang di ruang kontrol ikut-ikutan muntah gara-gara ngeliat close-up gw muntah. Dan tugas itu terlaksana dengan lancar.

Singkatnya, masih ada beberapa letusan-letusan kecil hari itu. Dan gw terpaksa menghabiskan hari pertama dengan tiduran di sofa kapal.

Jumat, 23 Juli 2010

Ay..Ay..Captain - bagian 7



Setidakmya itu yg ada dalam benak gw saat hari keberangkatan kami dengan Mavi Marmara diumumkan. Kamis sore (sebenarnya menurut jam sudah malam, sekitar 19.22 waktu Turki), kami berkemas dan berangkat meninggalkan Kepez Sporthall menuju dermaga Antalya. Berarti 3 hari sudah kami berada di Antalya menunggu hari "besar' itu.

Jumlah relawan diumumkan tidak kurang dari 600 orang, jauh lebih sedikit dari kapasitas kapal sebanyak 800-an penumpang. Sebelum berangkat, seluruh relawan diminta untuk menandatangani kontrak untuk taat pada perintah pimpinan dan tidak melakukan tindakan yang menjurus kepada kekerasan dalam situasi apa pun. Seluruh senjata, api dan tajam, dilarang dibawa ke atas kapal. Dan hanya yang terdaftar dalam manifest penumpang yang bisa naik.

Luar biasanya, jumlah pengantar kami dua kali lipat jumlah yang berangkat. Sungguh
masyarakat Antalya menghargai ketulusan relawan yang akan membantu Gaza. Banyak diantara masyarakt yang mengantar menitipkan oleh-oleh atau bahkan makanan kecil untuk kami konsumsi selama di kapal. Saat itu, gw pikir ini rada kelewatan. perjalanan hanya memakan waktu kurang dari 36 jam, jadi kami tidak akan kelaparan di laut nanti.

Gelap sudah mulai turun saat kami masih berjuang dalam antrian menaiki Mavi Marmara. Stu per satu barang bawaan kami melalui mesin X-ray. Di sini, dua tongkat yang tadinya adalah pegangan sekop yang kami copot untuk memudahkan packing, diambil oleh keamanan imigrasi dan panitia dari IHH. "Ini tidak boleh dibawa." kata mereka. "Lho,..ini bukan senjata!" protes kami. "Ini PEGANGAN sekop untuk nanti kami peletakan batu pertama di Gaza." "Ya, apa pun. Yang jelas ini tidak bisa naik!" Jadilah dua gagang sekop itu korban pertama.

Korban berikutnya ternyata adalah gw sendiri. Surprise, walau sudah menandatangani kontrak, update data anggota, ternyata nama gw tidak ada di manifest. Yang mengagetkan, justru nama dr. Jose yang masih nongol di bagian anggota tim. Walah, kayanya niat kurang kuat nih makanya nggak diijinin berangkat sama Allah, demikian renunganku. Walhasil, panitia menjanjikan mengurus keberangkatan setelah SEMUA penumpang yang terdata check in. Mendingan lah, daripada harus balik badan. Masak gw bye-bye ke temen sendiri....

Dua jam menunggu dan melihat penumpang lain antri naik kapal, dalam udara yang makin dingin, akhirnya mereka memanggil juga. "What's your name?" Gw sebut nama gw dan menyerahkan paspor. "Been to Gaza before?" tanyanya melihat cap imigrasi Palestina. "Stay for three months." jawabku biasa. "No kidding, what were you doing for three months?" Many things, and after we arrive to Gaza, soon we'll start to build hospital." harap gw. "Oke, you may enter.." Alhamdulillah,... Ay..ay captain....

Tidak sulit menemukan dimana rombongan Indonesia lain berada. Semua ngumpul di salah satu pojokan di area buritan kapal. Sudah pukul sepuluh menjelang sebelas malam dan gw belum sholat maghrib.


Kamis, 22 Juli 2010

Kepez - bagian 6

Di Kepez Sporthall ini lah kami beraktivitas selama menunggu kehadiran Mavi Marmara. Gelanggang Olah Raga kebanggan kota Kepez ini dipilih karena memiliki beberapa keuntungan, antara lain (tentu) lapangan basket luas untuk tidur peserta, dan yang terpenting bagi wartawan adalah akses internet wireless yang memudahkan kerja mereka mengunggah berita dan foto. Maka jadilah dimana-mana laptop berserakan. Tentu saja, di antara semua rutinitas mengirim dan mencari berita, beberapa masih aktif mengupdate status facebooknya.

Satu-satunya kelemahan GOR Kepez adalah kamar mandi. Maklum saja, disini para pemain
biasa mandi dalam ruang ganti dimana kamar mandi mereka berupa shower tanpa sekat. Tentu risih dan tidak nyaman bagi semua relawan yang kebanyakan muslim. Ma
ka jadilah kamar mandi sebagai ajang blokade baru. Walau rata-rata setiap kamar ganti memiliki 6 shower, tapi tetap kami harus mandi satu per satu karena kamar mandi dikunci dari dalam.
Untung juga waktu itu musim semi masih cukup dingin, jadi banyak diantara kami menganggap wudhu sebelum sholat cukup untuk menggantikan mandi rutin.

Di Kepez ini suasana persaudaraan terbina. Semua saling berbagi dan semua ingin membantu.
Yang mudaj menolong yang tua, yang tua mengasihi dan membimbing yang muda dengan nasehat. Tidur satu lantai dengan sleeping bag, makan mengantri dari meja yang sama disediakan panitia. Sungguh, nyamannya kebersamaan membuat rasa pegal akibat tidur di lantai dan dinginnya udara hilang tak terasa.

Delegasi Indonesia cukup mendapat perhatian disini. Bergabung bersama delegasi Malaysia, jumlah kami 24 total, cukup besar untuk menunjukkan keunikan tersendiri. Ada yang pake sarung, pake peci. Satu yang membedakan, di antara semua relawan, hanya satu orang yang tidak tidur menggunakan sleeping bag. Gw bangga tidur di hammock. Tempat tidur gantung ini efektif gw ikat di antara tiang-tiang yang ada. Hasilnya gw punya tempat eksklusif.

Sudah lewat 2 hari tapi panitia masih belum memberitahukan kapan kami akan berkemas menuju Mavi Marmara. Baru pada hari ketiga, dalam jumpa pers, mereka menyebutkan misi dari kegiatan kemanusiaan ini dan ternyata keberangkatan ditunda karena menunggu kedatangan kapal lain menuju check point yang telah disepakati. Saat itu setidaknya ada 8 kapal yang akan tergabung dalam Flotilla to Gaza, nama resmi pelayaran relawan ini. Tiga kapal dari Turki, dan sisanya dari berbagai negara seperti Swedia, Yunani, Uni Eropa dan Irlandia.


Maaf,....


Beribu maaf bagi rekan-rekan yang menantikan cerita Mavi Marmara. Belakangan sering blank begitu di depan laptop untuk ngelanjutin cerita. Yang ada makin lama makin males.

Ini jadinya mencambuk diri mengisi waktu di tengah kesibukan beraktivitas di Gaza. Memang, alhamdulillah, kami sudah berhasil masuk ke Gaza lagi untuk meneruskan program pembangunan RS Indonesia. Jadi, doakan kami ya...

Rabu, 30 Juni 2010

To Antalya - bagian 5


Minggu malam, semua relawan calon penumpang Mavi Marmara berkumpul di depan kantor IHH daerah Fatih. Rame banget diantara keremangan malam. Sudah larut malah, berhubung gelap mulai turun di Turki pukul 20.30 waktu setempat. Tapi sepertinya semua enjoy dengan kemeriahan suasana sehingga "lupa waktu".

Baru pukul 11-an malam bus yang sedianya mengantar kami ke Antalya dikabarkan sudah datang. itu pun tidak bisa parkir dekat kantor IHH karena jalan yang sempit tidak sesuai dengan besar bus. Jadi terpaksa kami berjalan menuju lokasi bus parkir di area Yesil park (Taman Hijau). Walau tidak jauh, hanya sekitar 400 meter, tapi barang bawaan yang dibawa oleh relawan cukup merepotkan juga. Bayangin aja, gw yang udah wanti-wanti ke temen-temen dari Indonesia supaya bawa barang secukupnya, jadi bengong ngeliat bawaan mereka yang rata-rata 2 atau 3 tas besar. Sambil bergurau ke serombongan relawan Spanyol yang kepayahan memikul dan menggendong tas mereka, gw bilang,"If nobody knows we're heading to Gaza by sea, surely they will think we are mount climber!" Sumpah, pemandangan malam itu lebih mirip serombongan pendaki gunung dibanding pelaut.

Menjelang tengah malam, baru lah bis bergerak meninggalkan Yesil Park. Menyusuri jalanan Istanbul, memamerkan keindahan kota tuanya dan mesjid-mesjid megah, sungguh sayang untuk dilewatkan. Sialnya, mata udah beraaaat banget. Tanpa basa-basi dengan penumpang yang duduk di sebelah, gw pulas tertidur.

Kirain bus akan berhenti untuk sholat subuh, eh ternyata sopir tancap gas terus. Karena enaknya tidur, apalagi kedinginan karena AC bus yang cukup kencang, gw baru kaget terbangun buat sholat jam 5 lewat. Orang sebelah gw malah masih pules. Apalagi rombongan "London Gank" di barisan belakang yang sampai aku menjelang pules masih terdengar riuh membincangkan pengalaman mereka di konvoi awal tahun lalu.

Jam 7 pagi bus akhirnya menepi untuk memberi kesempatan para penumpangnya sarapan pagi. Setelah membasuh muka dengan air sedingin es, gw bergegas nyari temen-temen dari MER-C untuk sarapan. Saat bertemu dengan rombongan lain, terdengar celetukan, "Kita makan dibayarin ga nih sama IHH?" sambil lewat gw cuma nyengir tersenyum kecut. Halah, bang...Orang IHH itu udah segitu repotnya mengatur perjalanan kita semua, masak sekedar bayar sarapan buat perut sendiri aja masih nodong..?

Di kafetaria itu, menu disajikan ala kantin. Gw milih sup, keju putih (jibna) dan telur rebus untuk mengisi perut. Zaitun apalagi yang item, udah enggak bakalan ditoleh. Asinnya minta ampun, itu yang ngga bisa ditolerir. Roti tentu, nggak berharap nemui nasi di Turki. Kopi sebagai penghangat walau ukurannya buat gw sangat kecil. Murah, hanya 5 lira (sekitar 30 ribu rupiah).

Selesai sarapan pagi, perjalanan berlanjut lagi. Menurut sopir, kali ini kita tidak akan berhenti lagi kecuali kalo terpaksa ada yang kebelet pipis. Dan itu masih 6 jam perjalanan. Busyet, dengan model jalanan antar negara yang sepi begini dimana bus bisa digeber sampai 140 km/jam berarti masih 700-an kilometer sebelum sampai Antalya.

Singkat cerita, kami tiba di Antalya jam 1 siang. Bus berhenti di depan sebuah Sport Hall yang kemudian gw ketahui bernama Kepez. Gw bersyukur panitia mengumpulkan peserta di hall, bukan losmen atau hotel. Buat relawan, apalagi banyak yang berkocek tipis, tentu hal ini sangat berarti.

Dan menurut jadwal kami akan menunggu kedatangan Mavi Marmara berlabuh di pelabuhan Antalya hingga dua hari ke depan.

Minggu, 13 Juni 2010

Last day Istanbul - bagian 4


Setelah melepas keberangkatan Mavi Marmara, masih ada sehari lagi di Istanbul sebelum kami akan menyusulnya. Mavi Marmara memang menyusuri Laut Marmara lewat Selat Bophorus sebelum nanti menunggu kami di Laut Mediterran. Kebanyakan relawan akan ke Antalya, kota pelabuhan Mavi Marmara akan sandar, dengan bus sebagian lagi yg punya dana lebih menggunakan pesawat.

Jadinya Minggu pagi, dalam udara yang masih dingin menurut gw yang biasa berpanas-panasn, dengan kamera gw coba berkeliling nyari objek yang layak foto. Gaya gw udah kaya tukang foto keliling aja waktu itu. Bayangin aja sendiri, jaket windbreaker, sendal gunung, kacamata item, kamera SLR, nggak pas banget dengan suasana yang menurut orang lokal udah mulai panas. Tapi emang gw pikirin, yang penting kan cari objek foto...

Maka jadilah tuh SLR sasaran eksplorasi gw, secara gw juga baru beberapa bulan bulan megang kamera hi-tech. Teori sih sering baca, praktek masih pake semi-pro ato malah kadang pocket camera. Ada patung penaklukan Istanbul oleh Sultan Fatih, saluran air yang awalnya gw kira jembatan, mesjid (ini yang paling spektakuler dari sisi arsitektur), dan sekumpulan orang lokal yang lagi asik ngerumpi sambil ngopi. Dan kayanya mereka ga keberatan difoto oleh turis kaya gw.

Sayangnya ga banyak orang sini yang bisa bahasa Inggris, jadi gw susah nyari arah atao kalo mo pergi lebih jauh. Paling asik sih naik bus umum, murah meriah. Tapi karena kagak tau rutenya, nggak pegang peta Istanbul, plus kagak mau jauh-jauh dari hotel, yah akhirnya cuma muter-muter doang.

Oh ya, udah gw ceritain sebelumnya tentang daylight saving. Jadi karena asik muter, nggak sadar udah jam 7 pm. Terang bener, nggak ada tanda matahari tenggelam. Kl nggak liat jam mah mikirnya masih jam 3 sore.

Jadi setelah capek, gw nelpon ke temen2 yang lagi di hotel untuk janjian makan malem di saat masih terang di resto dekat hotel. menu favorit kami sama, NASI. whatever rekomendasi pelayan di resto yang kami masuki, pertanyaan pertama, ada nasi apa enggak. Roti mah tambahan kalo masih laper, dan biasanya kami jarang bisa menghabiskan satu porsi sendirian. Beli satu porsi untuk berdua. Lauknya biasanya milih daging atau ayam, yang sering ada. Jangan nyari tempe, tahu, telor, atau menu warteg lain disini. Ngimpi...!

Well, kami harus mengisi perut dengan layak karena malam nanti kami akan berangkat menuju Antalya dengan bus bersama dengan rombongan relawan lain.

Kamis, 10 Juni 2010

Mavi Marmara - bagian 3


Walau sudah diberitahu oleh pihak IHH tanggal akan diadakannya konferensi pers sambil melepas keberangkatan kapal, kami tetap penasaran dengan rupa sesugguhnya dari kapal itu. Apalagi M. Yasin, kameraman TVOne yang emang disisipkan MER-C dalam misi kali ini. Yasin berkeras pergi karena memang dia butuh bahan liputan untuk dikirim ke Jakarta. Akhirnya dengan nekad dan meminta salah seorang panitia, kami mencegat taksi dan meminta si petugas berbicara dengan sopir untuk mengantar kami ke pelabuhan tempat Mavi Marmara sandar. Maklum, tak ada satupun dari kami yang bisa bahasa Turki. Turut juga dalam taksi kami, Alex, relawan asal Inggris.

Hanya perlu waktu 10 menit menembus keramaian lalu-lintas Istanbul untuk mencapai Port Istanbul. Sang sopir dalam perjalanan mengajak bicara. Tapi dia tak bisa berbahasa Inggris. "Kalam Arabi?"tanyaku. Eh, dia ngangguk. Untung diantara kami ada Abdillah yang bisa bahasa Arab."Dil, ambil alih.."

Mavi Marmara berarti Marmara Biru. Marmara adalah laut tempat si Kapal berada, yang berada di Utara Istanbul menghubungkan dengan Selat Bophorus. Ukurannya sebesar kapal ferry Merak - Bakauheni berlantai 5. Kapal itu tampak anggun karena diseluruh badannya terpasang bendera-bendera kecil negara-negara yang ikut dalam perjalanan ini. Di lambung kiri kapal bahkan melekat tulisan dalam 3 bahasa; Turki, Inggris dan Arab yang berarti Kapal ini adalah kapal kemanusiaan. Memang untuk misi menembus Gaza kali ini, tema yang diusung IHH adalah Palestine Our Route, Human Aid Our Load.

Ada beberapa wartawan yang juga berada di dermaga. Setelah berkenalan dengan mereka ternyata mereka berasal dari Spanyol. Semuanya wanita. Yang paling menonjol adalah Wasima, bukan karena kecantikannya. Tapi kemampuannya dalam berbahasa. Setidaknya wanita kelahiran Maroko ini menguasai 5 bahasa!

Yasin sudah mulai sibuk mengeluarkan peralatannya. Dengan kameranya ia mengambil gambar kapal tersebut dari berbagai sudut. Gw sendiri juga sibuk jadi Mat Kodak dengan SLR yang gw bawa. Sayang, kami nggak diperkenankan masuk karena kapal sendiri sedang menjalani pemeriksaan akhir sebelum berangkat.

Setelah 15 menit kami kembali ke hotel karena Yasin akan menirim rekaman gambarnya ke Jakarta.

Kesokan harinya, Sabtu 23/5, dengan dihantar ribuan simpatisan masyarakat Turki dan calon penumpangnya, Mavi Marmara mengangkat jangkar menuju Antalya di Selatan Turki. Tidak kurang 3000 orang hadir dalam acara yang diliput oleh puluhan media cetak dan elektronik dalam dan luar Turki. Kali ini di sisi kapal juga terpasang dua buah banner besar bertuliskan nama 2 orang staff mereka yang meninggal akibat kecelakaan pesawat terbang di Afganistan.

Suasana hujan yang sempat mengguyur dan dinginnya udara (laporan cuaca di Balckberry menunjukkan angka 17 derajat Celcius siang itu) tidak mengurangi animo masyarakat yang hadir.

Karena banyaknya kata sambutan yang diberikan, akhirnya Mavi Marmara baru berangkat menjeang jam 3 sore hari waktu Turki. Selamat jalan Mavi Marmara, kami menunggumu di Antalya.

Rabu, 09 Juni 2010

istanbul, Turkey - bagian 2

Sampe di Istanbul jam 3 siang hari Kamis.

Selama seminggu di Jakarta, salah satu yg gw pantau adalah cuaca di daerah yang mau dilewati. Penting banget biar ga salah kostum..dan kesimpulan gw ke tim cuaca di Mediterran saat itu sudah mulai musim semi dengan suhu berkisar antara 21 - 28 derajat Celcius. Jadi disarankan bawa baju yang tidak terlalu tebal karena suhu mulai menghangat.

Hangat dari Hongkong kata salah satu anggota, ini mah masih kaya di Puncak ademnya. Gw cuma melongo. Gw yang salah baca perkiraan cuaca atau emang cuaca yang berubah-ubah dengan cepat? Apalagi kata orang yang njemput, beberapa hari kemarin Istanbul hujan turun sangat deras? What? Spring shower...? Cilaka deh..

Tambah seru lagi dengan adanya daily light saving. Walhasil bukan cuma jetlag yang klami rasakan tapi juga buta waktu. Matahari bukan patokan terbaik untuk ditanya. Nggak bakalan percaya udah jam 8 malam kalo nggak ngeliat jam. Mataharinya lagi mulai turun kaya jam 4 sore. Jadi kami sholat maghrib jam 20.30 dan makan malam jam 22.00 waktu setempat. Syukurlah sebagai musafir diberi kemudahan untuk jamak sholat. Jadi nggak kepikiran sholat isya jam 22.40-an

Jangan bayangin selama nunggu berangkat dengan kapal gw dan tim jalan-jalan yah. Gw pribadi sih nggak suka ketika misi trus kesisipan kegiatan wisata. Kalo sekedar moto-moto objek yang gw lewatin ya karena gw bawa kamera. Tapi kalo sampe niat mau ke Istana Topkapi misalnya, ga kepikiran tuh.

Bareng sama orang lain dan LSM lain kita langsung nimbrung di IHH, lembaga kemanusiaan dan hak asasi terbesar di Turki, yang punya kapal yang akan kami naiki. By the way, karena pengumpulan dana untuk beli kapal di tanah air ga nyampe buat beli kapal sendiri, jadinya duit yang ada kami jadiin bahan patungan dengan IHH.

Seneng banget selama di Istanbul gw ketemu sama relawan dari berbagai negara. bahkan banyak dari mereka yang rupanya "alumni" Lifeline to Gaza bulan Desember 2009 kemarin. Ada juga yang sudah mengikuti sejak perjalanan ke-3. Rata-rata dari daratan Eropa menggunakan truk datang ke Turki sambil memuat bantuan yang bisa mereka kumpulkan di negara masing-masing. Ga kebayang serunya travelling antar negara dengan darat. Perlu 5 hari katanya dari Inggris ke Turki, pake nyebrang dari Yunani pula.

Sampe kemudian dapat tanggal kapan kapal yang nanti akan kami naiki akan mulai angkat jangkar. Menurut mBak Upik sih kapalnya bagus banget, kaya kapal ferry gedenya. Batin gw asal jangan getek Jaka Tingkir juga udah syukur.