Bukan karena trauma untuk menceritakan ulang. Gw bukan tipe orang yang seperti itu. Justru dengan menceritakan ulang, semua partisipan Mavi Marmara malah merasa berkewajiban menyebarkan kesadaran akan kebrutalan Zionis Israel kepada dunia.
Tadinya mau copas apa yang gw tulis buat buku "Perjalanan Berdarah Mavi Marmara", tapi bahasanya lurus banget. Enakan pake elu-gw disini. Dan dipendekin aja, Tuh editor buku lagi kumat malesnya kali sampe semua tulisan gw ga ada yang disensor...
Senin, 31 Mei 2010, Perairan Internasional Laut Tengah
Jam 4 pagi lewat seperti biasa azan shubuh terdengar. Kali ini jamaah lebih cepat berkumpul karena memang sedari malam banyak yang tidak tidur untuk karena berjaga. Gw sendiri naik ke tempat sholat karena tidur di kabin tempat biasa. Di luar berisik banget tadi malam. Sebenarnya nggak ada kewajiban bagi petugas medis dan wartawan untuk ikutan berjaga. Cuma ya gimana gitu, satu kapal satu misi yah mencoba berbagi tanggung jawab lah. Pikirnya dengan di luar juga bisa merem, kalo ada kejadian bisa langsung action, tapi karena berisik yah mending pindah ke dalam aja. Waktu itu udah jam 2-an malem.
Sholat kali ini lebih cepat, mungkin terimbas dari suasana tegang. Walau masih normal (artinya jamaah tidak sholat kha'uf - bergantian tiap baris ruku dan sujudnya), tapi terlihat sekali banyak yang gelisah di antara jamaah.
Tiba-tiba,"They're here..!!" pekikan ramai sudah bersahutan dari arah haluan kapal. Sontak saja beberapa jamaah yang baru selesai langsung kabur kembali ke pos masing-masing. Gw sendiri ngacir ke kabin untuk ngambil pelampung dan rompi yang dibagikan panitia berisi obat-obatan di sakunya.
Saat gw balik keluar itulah, pas buka pintu dek, terasa banget ada angin keras yang bertiup. Malam sebelumnya, Laut Tengah hampir tidak pernah berangin, karenanya banyak peserta yang memilih tidur di luar, lebih sejuk kata mereka. Tapi subuh itu angin luar biasa kencang. Windbreaker yang gw pakai samapai berkibar bagian tudungnya. Yang terlintas pertama kali di kepala gw waktu itu adalah dengan angin sekencang ini, keuntungan buat Mavi Marmara. Kalo angin kencang, ombak pasti naik. Jadi boat tentara akan susah ngedeketin Mavi Marmara.
Tapi gw salah, angin itu berasal dari helikopter di atas kepala gw. Badan helikopternya nggak kelihatan karena masih gelap. Tapi lampu sorotnya silau menerangi kapal. Buru-buru gw ngibrit ke pos jaga gw.
Saat menuju ke tempat itulah, suara buuumm...buuummm...bummm! berulang kali terdengar. Rupanya tentara sudah mulai pemanasan dengan menggunakan bom suara. Kalo canister-nya meledak dari jarak dekat, efeknya luar biasa. Nyeri karena membrana timpani belum sempat bereaksi untuk mengendur bisa bikin kita jatuh.
Di sana 2 dokter Malaysia sudah menunggu. Kami memang bertiga ngepos di dek 4 bagian buritan kapal. Tapi karena gaduh di atas kami, dek 5 tempat para jurnalis siaran langsung dan ngumpul karena ada kafe. Gw bilang ke mereka,"Saya naik ke atas. Disana tak ada yang jaga." Terus langsung gw naik tangga. Lebih dari sepuluh orang sudah ngumpul di situ. Dari posisi gw sekarang, helikopter kelihatan sangat dekat, persis di atas dek kapten.
Nggak lama, satu korban dibawa ke gw. Digotong, ditaruh di kursi panjang. Refleks gw samperin. Gw periksa nadi dan nafasnya. Seorang relawan wanita terus berteriak untuk minta dipanggilkan dokter. "I'm here. I'm a doctor", ujarku sambil terus mencari trauma pada korban itu. Tapi si wanita terus celingukan sambil teriak. Upik, team leader gw, membantu menjelaskan,"He IS a doctor. He is our doctor." Hehehe, udah terlalu biasa nggak dianggap sebagai dokter. Jadi udah nggak bisa sakit hati lagi.
"I need a knife," teriakku, tali pelampung yang mengikat tubuhnya disimpul mati. Membutuhkan waktu untuk membukannya. Lebih praktis memotong saja. Kali ini si wanita tadi mengulurkan pisau lipat-nya. Sempat senyum juga. Pisau lipat ala army sementar si wanita mengenakan celana kargo loreng juga. Udah siap perang nih, ukhti..?
Semua tali sudah kupotong, pelampung kulepas. Tapi tidak ada luka yang gw temuin. Jadi firasat gw, korban kena bom suara makanya klenger. Jadi gw tampar aja pipinya, sampe mata kami ketemu. "Look at me. Focus!" Dia diam tapi kali ini matanya ngeliatin ke gw. "Take a deep breath. Out slowly." perintah gw. Dia nurut. Satu kali,..dua kali,...tiga kali,...empat kali...
Trus dia bangun, ndeketin mulutnya ke kuping gw."Doctor, tell them. Don't let them take the captain room!" bisiknya. Gw nggak paham siapa yang dia maksud dengan them itu. Tapi gw iyain aja dan memintanya istirahat. Bukannya nurutin permintaan gw, eh malah dia berdiri dan kabur lagi ke tempat tadi dia digotong-gotong.
Helikopter masih melayang di atas dek kapten. Suara gaduh masih bersambung...
Selang lima menitan, seorang korban lagi dibawa. Kali ini langsung dibawa ke gw. Nggak ada lagi yang teriak nyari dokter. Korban kali ini kelihatan ada noda darah di ujung lengan bajunya. Napasnya sama, udah takipneu kaya korban pertama.
Tanpa komando relawan lain segera mempretelinya dari pelampung yang terpasang. Nadi oke napas cepat. Fokus nyari sumber perdarahan. Lengan nggak ada, dada nggak ada, kepala nggak ada. Dimana? Nggak ada waktu buat nyari terus. Jadi gw lakukan tindakan yang sama seperti korban pertama. Tampar dan paksa dia untuk fokus.
Cuma si korban ini kayanya shocked dengan yang menimpanya. Saat napasnya sudah reguler, dia tetap gelisah. dan saat ada helikopter mendekat, napasnya cepat lagi. Nggak ada pilihan. Jadi gw minta relawan lain mengantar dia masuk ke kabin agar tenang.
Saat itu lah di gang sebelah kiri orang makin ramai. Beberapa orang tampak berjongkok, mengerubuti satu sosok. 'Pull him here. Pull him here.." teriak kami.
1 komentar:
lanjutane mana ??
Posting Komentar