
Tergelitik oleh konten blog beberapa rekan TS, yang paling menarik minat adalah buku yang terakhir selesai mereka baca. Kata selesai memang sengaja dibikin bold dan italic untuk memberikan penekanan proses itu sudah selesai, bukan baru diawal atau dalam perjalanan.
Ternyata, secara kasar, ditengah kesibukan rekan-rekan menjalankan profesinya (dan double kob bagi mereka sebagai ibu rumah tangga), banyak dari kita yang masih mampu merampungkan buku-buku terkini. With no offense, kalo calon spesialis baca jurnal mungkin lebih pada kewajiban dengan sedikit bumbu kebutuhan.
Fenomena ini mengingatkan di masa-masa kuliah dulu, ketika salah seorang dosen IPD kita (too bad, I'm totally forget his name. Apologize for this, Sir..!) yang mengutarakan bahwa semakin tinggi kedudukan profesi kita (mahasiswa - S.Ked - dokter - spesialis - konsulen) sebenarnya justru malah semakin jarang kita membaca. Jeduk..!! Masa sih..?? batinku setengah tidak percaya.
Well, setelah mencapai taraf dokter, baru aku tersadar bahwa sebagian dari apa yang beliau katakan ada benarnya. Kalau nggak dipaksa (entah karena lupa, ada pasien yang nanya, ato mentok nemu kasus aneh..) baru deh kita membuka buku kita. Itu untuk asupan kita sebagai dokter. Bagaimana dengan bacaan sebagai penyalur hobi atau sekedar mengetahui info yang berkembang? Baca novel, baca komik, baca buku resep makanan, buku sejarah, politik, koran, blablabla, whatever...

Waktu berangkat ke Kalimantan tahun 2003 untuk mencari pengalaman, yang pertama kali kukerjakan adalah menjejali laptopku dengan berbagai ebook kedokteran. Sederhana saja, buku kedokteran berat-berat, jadi dengan membawa versi ebook-nya aku hanya perlu menjinjing laptop saja. Berkebalikan dengan itu, aku tidak keberatan membawa berbagai novel, buku cerita sejarah sampai satu kardus mi instan! Dan semua itu ludes dalam waktu tiga bulan sejak aku tiba. Maklum banyak sekali waktu luang untuk dibunuh dengan membaca.
Demikian juga saat aku di Aceh ditengah para pengungsi dan pekerja sosial internasional. Kali ini yang kubaca adalah bagaimana menangani penyakit di pengungsian, mencegah outbreak, standar kerja petugas asing, dll. Walau setelah membaca dan memperhatikan itu semua, toh aku kecewa bahwa ternyata kinerja orang kita masih lebih baik dari relawan asing yang dikirim untuk membantu Indonesia. Belum lagi iri hati kalo membanding gaji mereka dengan relawan lokal. Tapi disini aku sempat menyelesaikan Musashi yang 1000-an halaman yang kubeli saat singgah di Gramedia Medan. Ga peduli dengan olok-olok teman,"wah, bukunya boleh tuh buat bantak, Bang..!" Demikian juga dengan Ketika Cinta Bertasbih yang kukenal di tenda pengungsian.
Saat di Irian, yang hampir setiap hari dicari adalah penanganan malaria, dan penyakit tropis infeksi yang menduduki 10 penyakit teratas. Singkatnya, Senin - Jumat kerja untuk pasien. Malam atau Sabtu - Minggu aku tenggelam dibalik Winnetou atau buku Karl May lain. Tidak seintens di Aceh dulu, karena di Irian aku ditemani istriku tercinta. Komplit, bulan madu di Papua sambil baca buku. Dibayarin lagi...
Di jakarta..?? Hobi beli buku kalo tidak ditahan oleh asuransi kesehatan dan pendidikan anak sepertinya tidak bisa berhenti. Aku sampai harus membuat rak buku baru untuk menampung koleksi buku milkku dan istri. Belum buku bacaan untuk putriku. Ruang tamu kami sudah seperti perpustakaan dan ketika putriku dan teman-temannya membaca yang ada adalah berantakan yang bikin pusing neneknya. Tapi, dari sebegitu banyak buku-buku yang kupunya, ironisnya belum ada satupun yang tamat kubaca.
Bacaan yang berhasil kuselesaikan lebih banyak adalah versi ebook, yang sudah kudonlod ke laptop atau hapeku. Beberapa audiobook juga kupunya yang kuputar saat pergi atau pulang mengendarai motor. Tapi kebiasaa
n ini kuhentikan karena mengganggu konsentrasi dan aku sendiri tidak bisa memahami jalan cerita yang dibacakan karena terganggu bising knalpot dan klakson dari kendaran lain.Jadi, kembali ke pokok permasalahan yang diungkap si Dosen, aku saja yang masih level rendah sulit sekali menyisihkan waktu untuk membaca. Bagaimana dengan senior konsulen yang mereka pagi mengajar selanjutnya operasi atau praktek di RS lain?
Langsung kutuju Masjid Ibnu Sina sesampainya di kampus. Duh...rasanya rindu sekali dengan masjid ini. Sekarang masjidnya dah megah sekali. Ruang akhwat sekarang ada di lantai atas. Sementara aku dhuha, kubiarkan kedua jagoanku berlari" di lantai atas itu. Ada satu yang kupikirkan. Kenapa sekarang masjidnya sepi ya? Dulu masjid ini tidak pernah sepi dari pengunjung. Selalu ada saja yang sholat, tilawah, atau sekedar beristirahat sebelum memulai hari atau melepas penat setelah seharian beaktivitas di kampus. Takmir masjid n LDK juga selalu membuat kegiatan untuk meramaikan masjid ini. Kami dari keputrian juga bermarkas di sini, walaupun secara struktural di bawah BEM. Namun saat itu kulihat hanya dua orang ikhwan yang sedang asyik dengan laptopnya di lantai bawah dan dua orang akhwat yang sedang ngobrol di lantai atas. 'Mungkin sedang ada kuliah atau praktikum ya' pikiranku mencoba berhusnudzon. Yang jelas saat itu aku tidak perlu merasa resah karena kehebohan kedua jagoanku yang sedang berlarian ke sana ke mari.
Di depan IKM kami berhenti sejenak. Anak" melanjutkan sarapannya dengan session kedua di kantin IKM. Hmm...biarpun kantinnya elite, harganya ternyata masih tetap harga mahasiswa dan jelas jauh lebih murah daripada harga makanan di Lampung :). Anak" bermain" di taman IKM dan asyik melihat ikan" di kolamnya. Mereka bahkan mendapatkan kawan" baru, anak" ibu" kantin :) Kubiarkan mereka bercengkrama dan bersenang". Lucu juga membayangkan dulu aku masih gadis sewaktu masih skul di sini dan wira wiri ke lab komputer di lantai atas IKM buat ngenet. Sekarang lihatlah, sudah dua buntut yang kubawa ke sini dan aku hanya perlu membuka laptopku di kursi" di taman ini untuk menikmati free hotspot yang disediakan IKM (sayangnya saat itu servernya sedang down). Mahasiswa" S2 IKM berseliweran di sekitar kami.
Sebelumnya, kami sempetin berpose sejenak di Taman Medika. Oya, aku terkesan sekali dengan adik"ku para calon dokter ini. Dari isu yang kudengar, sekarang mahal sekali untuk masuk ke FK. Harus menyediakan duit minimal 100 juta kalau ingin ke sana. Aku tidak tahu apakah gosip itu benar adanya. Kalau benar, aku sangat menyesalinya sekaligus bersyukur. Menyesal karena aku tidak tahu akan menjadi dokter sematre apa kelak adik" tercinta itu jika harus menyediakan modal sebanyak itu, tapi sekaligus bersyukur bahwa aku sudah mentas dari kampus tanpa perlu mengeluarkan duit banyak". Tapi ternyata penampilan para calon sejawat itu tetap biasa saja, selayaknya mahasiswa yang lain. Masih banyak pula kulihat sepeda yang diparkir di halaman parkir. Beberapa kulihat berdiskusi di TM dengan laptop. Masih wajar kupikir. Hmm...ternyata tidak seseram bayanganku semula bahwa kampusku tercinta akan berubah menjadi kampus kaum borju. Salut.
Kami mampir makan siang di Steak Waroeng. Aku ingat dulu resto ini menjadi jujugan para mahasiswa karena harga steaknya betul" bersahabat untuk kantong mahasiswa. Aku tidak tahu sekarang. Enam tahun berlalu harga steaknya sudah dua kali lipat lebih. Sudah lama juga aku tidak makan steak, jadi tidak tahu berapa rata" harga steak sekarang. Tapi kupikir masih murah juga harga steak di resto itu. Di sana kami baru tersadar kenapa selama dalam perjalanan ini si adik susah sekali disuruh makan. Rupanya gigi gerahamnya sedang tumbuh. Wah...padahal sudah membikin maknya ini esmosi tiap kali harus nyuapin makannya. Hmm...maafkan ummi ya nak.

